Minggu, 26 Juni 2011

KUN DAN SAYAP KUPU

Cerpen  Budi Palopo

(1)
INILAH kesaksian Kun. Selembar daun kamboja gugur di pelataran rumah. Kun tampak gelisah. Ketika guguran daun dipungutnya, merebaklah aroma kematian cinta. Seketika pandang-angannya menembus bayang-bayang keserakahan Durga.

Entah kapan peristiwa itu terjadi. Yang jelas Kun bisa membuka ingatan, dengan sepatu lars putus tali yang dikenakannya, Durga menginjak boneka yang lepas dari pelukan seorang bocah. Ning, bocah pemilik boneka, yang tengah memetik kembang sepatu di pelataran itu pun menangis. Tapi, Durga segera mendiamkannya dengan sebuah ledakan: ”dor...!”.

Kun bersaksi, tanaman kembang sepatu yang jadi pagar pembatas pekarangan ketika itu tengah berbunga. Bocah-bocah perempuan yang sedang main anak-anakan semula tampak riang, bebas bernyanyi-nyanyi. Aksi petik bunga pun kerap terjadi. Ada yang dimanfaatkan untuk ngudang boneka(1), ada yang cukup diselipkan di tali kuncir rambutnya. Tapi, setelah tanaman kembang sepatu beraroma darah, segalanya mendadak berubah.

Suasana benar-benar mencekam. Selain pasukan Durga, tak seorang pun berani buka suara. Dengan moncong senapan, pasukan Durga memaksa sejumlah orang kampung membuat lubang galian di tanah pelataran. Tanpa dimandikan, tanpa kain kafan. Jenazah Ning dimakamkan dengan dibungkus selembar tikar pandan. Lalu, sebatang pohon kamboja ditancapkan di tanah uruk galian pelataran yang jadi kuburan.
**
(2)
DENGAN bahasa yang cukup teratur, Kun pernah mendengar tutur. ”Tanah warisan yang digarap Wur, itu milikmu. Milik Mak yang kuberikan padamu. Suatu saat nanti, kalau kamu mau, buatlah rumah tinggal di sana. Cuma satu pesan Mak, jangan kau jual..!” tegas Mak.

Kun paham. Mak yang telah bertahun hidup mapan di kota, tak mungkin balik sebagai petani di desa. Maka, sawah digarap bibinya. Untuk kepentingan bayar pajak, Petok D atas nama Mak sebagai pemilik, tergulung dalam seruas bambu, dan tersimpan rapi di lemari pakaian sang bibi. Setidaknya, begitulah pengakuan Mak. Dan, Kun percaya begitu saja.

Tapi, kenapa tanah warisan itu kini harus jatuh ke tangan orang lain?

Kun terdiam. Dalam diamnya, ia merasakan kehadiran bayang-bayang Durga. Durga yang cantik. Secantik Nar yang --saat menari-- geraknya cukup gemulai. Setelah berhari-hari bibir terkunci, Kun bersuara.

”Tanah warisanku hilang, Nar. Atas restu Mak, bibiku telah menjualnya. Kata Mak, bibi perlu bantuan. Dan, hanya dengan restu itulah Mak bisa membantunya,” jelas Kun menirukan pengakuan Mak.

”Konfrontasi. Baratayudha harus terjadi...!” celethuk Nar, usai latihan tari, sembari mengibas-kibaskan selendang warna merah. ”Ibumu tak lebih dari sebuah boneka. Ia tak bisa mempertahankan hak untuk masa depan anaknya. Jadi kamu harus berjuang sendiri. Berjuang untuk mempertahan apa yang kamu miliki...!” jelas Nar kemudian.

Berjuang? Berjuang mempertahankan hak macam apa lagi kalau tanah itu sudah terbeli? Kun bertanya-tanya pada diri sendiri. Udara gerah. Otak Kun terasa bernoktah. Ada geram yang tersuarakan. Tapi, Kun menggeleng. Ia tak mau hubungan keluarga pecah, hanya gara-gara sepetak tanah. ”Aku tak ingin jadi manusia rakus,” pungkas Kun, serius.

Nar pun tertawa-tawa. ”Percil anak katak, jiwa kerdil percuma punya otak...!” ledek Nar kemudian. ”Mempertahankan apa yang kau miliki itu bukan tanda manusia rakus, kawanku. Kau paham kisah Baratayudha antara Pandawa-Kurawa? Kurawa terdesak, Duryudana kalah telak. Sebab, sebagai pepimpin perang, Bisma Gugur di medan tempur. Namun, demi tanah Astina, tampillah Karna untuk menyemangati Duryudana. Apapun hasilnya, perang harus dilanjutkan...!” jelas Nar berapi-api.

”Nar, janganlah kau menistaku. Jangan samakan jiwaku dengan jiwa-jiwa Kurawa,” tolak Kun.

”Kau menganggap orang Kurawa nista? Salah...!” tegas Nar. ”Baratayudha itu terjadi, bukan karena rasa benci. Baratayudha itu terjadi, karena  Pandawa merebut hak, dan Kurawa mempertahankan apa yang sudah dibangun dan dimiliki. Memang, Pandawa melihat tanah Astina sebagai kekayaan yang beralih tangan ke Kurawa. Tapi kenapa persoalan itu tidak muncul saat tanah Astina masih berupa hutan berawa-rawa? Kenapa Pandawa baru mempersoalkan hak atas tanah, setelah Astina membangunnya sebagai kota besar? Nah, kalau demikian itu yang terjadi, siapa yang rakus? Siapa yang nista, Pandawa atau Kurawa?” tanya Nar kemudian.
**
(3)
KUN tercenung. Berhari-hari ia mengurung diri. Ia berusaha menemukan kesadaran, bahwa soal dikotomi Kurawa-Pandawa tak penting lagi. Baginya, Pendawa atau Kurawa sama saja. Terserah mau pilih yang mana. ”Jika pilih Pandawa, aku harus jadi Arjuna yang siap melepas semua anak panah, dan tak mau kalah. Jika pilih Kurawa, aku harus jadi Adipati Karna yang pantang menyerah...!” tekad Kun.

Lalu, suatu hari, tanpa sepengetahuan Mak, ia pergi menemui Wur –bibinya—yang tinggal di desa. Setelah mendengar penjelasan dari Wur, Kun justru mendapat kabar yang simpang-siur. Menurut Wur, yang berinisiatif menjual tanah warisan itu justru Mak. ”Tanah itu laku dua ratus juta. Untuk bayar hutang bibi yang hampir tigaratus ribu, ibumu memang memberi bibi lima juta. Dan itu hak bibi, karena bibi yang menemukan pembelinya,”  jelas Wur.

Bumi bedhah. Kemarau panjang membuat banyak tanah tegalan terbelah. Sore hari, langit di tenggelamnya matahari berwarna merah. Namun, Kun tetap melangkah. Setelah mendengar tutur Wur, Kun segera menghadap Mak, untuk mendapatkan penjelasan sebagaimana mestinya. Dan, ternyata Mak membenarkan penjelasan Wur.  ”Kamu anak kecil, ngerti apa...?” kata Mak, ketika Kun mengingatkan Mak bahwa tanah itu telah menjadi miliknya.

Kun lungkrah. Ia tak berani mendebat Mak. Kun tak ingin menyakiti hati Mak. Kalau toh ada kalimat protes, Kun memilih menuliskan kemarahan di buku harian, yang tak mungkin terbaca oleh Mak yang buta huruf:

”Ibu...! Air ketuban, darah dan rintih sakit-mu adalah jalan pengantar tangis kehidupan. Kau tersiksa bukan karena melahirkan, tapi karena proses kelahiran.

Karena itu, tak sepantasnya kau mengaku bisa beranak-pinak. Sebab, daya hidup dalam birahi-mu telah mengukir wujud-nya sendiri.

Di situlah tersimpan wajah sang penguasa sifat, yang tak pernah henti berubah. itulah tanda gerak keabadian…!

Ibu, jika kau yakin syorga bisa dijumpai setelah manusia mati, seharusnya kau juga yakin bahwa penghuni syorga hanyalah anak-anak yang tewas akibat diinjak-injak oleh ibunya sendiri. Sebab, syorga berada di telapak kaki ibu kan?”
**
(4)

SELEMBAR daun kamboja gugur. Karena hembus angin, atau karena telah melewati batas umur? Entahlah. Yang jelas Mak telah tiada. Kun tak punya kenangan manis, selain catatan keserakahan Durga yang beraroma kematian cinta. ”Maafkan aku, Mak. Aku tak bisa menyontoh cara-caramu demi masa depan anak-anakku,” desah Kun, sembari menggerak-gerakkan jemarinya yang memegang jatuhan selembar daun kamboja.

Selembar daun kamboja gugur. Keropos dimakan ulat? Nggak juga. Kun tak pernah tahu ada ulat yang memakan daun kamboja. Justru kupu-kupulah yang sering hinggap di mekar bunganya. Tapi, adakah kupu-kupu hinggap di mekar bunga sepatu, yang menghias kuncir rambut Ning, sebelum tewas tertembak pasukan Durga?

Entahlah. Kun tak bisa mengingatnya. Yang ia tahu, pagar pembatas pekarangan yang dulu tanaman bunga sepatu, kini telah berganti pagar besi dan batu-batu. Dan, kendati sama-sama telah jadi isian lembar kenangan, Kun lebih mengingat Ning yang tewas tertembak pasukan Durga daripada mengingat Mak yang tega membunuh anaknya sendiri.

”Maafkan aku, Mak. Aku tak ingin mengingat tingkahmu, yang menyerahkan aku dan adikku ke nenek saat kau bercerai dengan bapakku. Maafkan aku, Mak. Aku tak bisa membenarkan langkahmu yang membetot nyawa adikku dengan cara menjauhkannya dari punting susumu. Mak, maafkan aku, jika aku pernah menganggapmu sebagai pembunuh adikku yang saat itu masih berusia tiga bulan. Maafkan aku, Maaak...!”

”Maafkan aku, Mak. Aku telah gagal menepis pandangan banyak orang, bahwa kau bertuhan kerakusan. Maafkan aku, Mak. Setelah bisa membaca, atas anjuran nenek, sebenarnya aku telah berusaha mendekatimu dengan rasa cinta. Tapi aku gagal, Mak. Di pagar pekarangan rumahmu ternyata banyak ulat yang tak kunjung berubah jadi kupu-kupu. Dan, aku sangat membencinya. Karena itu, aku terpaksa kembali hidup bersama nenek yang selalu damai hingga akhir hayatnya.”

”Mak...! Maafkan aku, ya mak kalau Mak pernah tersinggung saat aku bertanya soal bangkai babi yang Mak pendam di bawah meja makan. Maafkan aku, ya Maaak...!”
**
(5)

SELEMBAR daun kamboja gugur. Kun tersenyum. Tak jelas makna senyumnya. Yang pasti, walau hanya kumpul selama tiga tahun, ada banyak kenangan tentang Mak yang ingin dilupakannya. Dan, justru peristiwa yang menimpa Ning yang terus dicoba untuk ditelusurinya.

Tapi, entah kenapa, Ning selalu hadir sebagai bayang-bayang aneh. Ada semacam lorong gelap yang berujung kuburan massal dengan tumpukan banyak mayat  dalam satu lubang galian.

Di bawah pohon kamboja yang tumbuh kekar di pelataran rumah itu ternyata bukan cuma jenazah Ning. Kun baru mengerti setelah Mbah Kamid bercerita tentang penggalian tanah pelataran untuk kuburan itu.

Dan, Kun pun mencatat tutur Mbah Kamid dalam ingatannya, bahwa ketika itu kampung Negariki diserang pasukan Durga yang bersenjata api. Entah apa maunya. Yang jelas, ketika mendengar ada pasukan Durga masuk kampung, hampir semua pemuda kabur. Tapi tak semua selamat. Pada siang hari penggerebegan, ada 6 orang korban tewas tertembak. Dan, Ning itu cuma korban peluru nyasar saat bermain anak-anakan. Jelasnya, Ning tertembak, bukan ditembak.

Hingga malam hari, korban tewas itu nggak ada yang berani menguburnya. Ya, karena nggak ada yang menggali kubur. Praktis di kampung Negariki ketika itu hanya tinggal anak-anak, ibu-ibu dan kakek-kakek yang nggak mungkin ikut-ikutan kabur. ”Jadi, saat larut malam,  ya hanya sejumlah kakek-kakek yang menggali satu liang untuk mengubur korban tewas tersebut,” jelas Mbah Kamid, suatu hari.

Tapi siapa sebenarnya yang diburu pasukan Durga? Itulah yang nggak jelas. Mbah Kamid mengaku nggak tahu soal apa dan siapa yang jadi sasaran tembak pasukan Durga. Karena itu, walau menangkap gelagat ada sesuatu yang disembunyikan, Kun tahu diri. Ia nggak mungkin memaksa Mbah Kamid untuk bercerita apa adanya.

Itulah sebabnya, Kun seringkali memilih membuka ingatannya sendiri. Ingatan saat pandangnya menangkap kelebat tingkah Mak yang memprihatinkan tumpang tindih dengan gerak Ning yang ceria bersama teman-teman lainnya saat berusaha menangkap kupu-kupu yang banyak beterbangan di musim mekar bunga.

Dan Kun selalu merasa ngeri saat pandangnya menangkap kelebat bayang-bayang Ning mengerang dengan dada berdarah-darah, persis di pinggir pagar tanaman bunga sepatu. Oh, tidak... tidak. Itu bukan kenangan indah. Sebab, kini tak ada lagi bunga sepatu itu, karena sepatu tak lagi bisa mengenal bunga...! ** Gresik, 9 Juni 2011/ Jawa Pos Minggu 19 Juni 2011/ Indo Pos 19 Juni 2011

Senin, 16 Mei 2011

KOLEKSI FIKSIMINI DAM

Cerita Satu:  SI KOKOK


Barangkali lelaki dan ayam jago itu sama-sama sudah gila. Si Kokok, ayam jago itu tetap diam. Matanya merem-melek. Tentu saja lelaki itu tak lagi mengelus-elus kepala ayam jago itu, melainkan memukulnya, "Hayo Ko, Persaingan dan kompetisi semakin dekat."

 Si Kokok membuka paruhnya yang berwarna kuning, “ke-ok….” Lelaki itu lantas berdiri dan lantang berujar, "Kamu jangan mengejekku dengan suara yang paling kubenci. Ke-ok. Apa itu ke-ok?"

"Keooooooooooooooooook". Terdengar jerit si Kokok panjang. Lelaki itu berteriak-teriak sembari berlari. Entah dari mana lelakiitu mengenal sepenggal baris puisi Chairil Anwar: sekali berarti, sudah itu mati ***

Mei, 2011

Cerita Dua: PERCAKAPAN DIAM 

“Yessi, kenapa raut wajahmu pucat lesi?”

Yessi diam. Dam diam.

Diam-diam mata Yessi mengerjap serupa kejora. Kusentuh anak rambut yang berjuntai pada pelipisnya.
Aroma harum menyergap pelahan. Lembut dan nyaman. Dam damai.


April 2011


Cerita Tiga:  PERI YANG PERIH

Seorang peri sedang demam influenza berat. Ia terkapar di atas ranjang meminta dikisahkan kisah-kasih binatang. Kisah dimulai di kebun binatang. Ada sepasang kekasih terpikat melihat seekor ular melilit sebatang dahan. Si wanita berpikir "alangkah indahnya kulit ular itu untuk tas dan sepatu." Lelaki itu seakan bisa membaca pikiran kekasihnya, lalu bergegas menarik tangan kekasihnya meninggalkan tempat terkutuk itu. Lelaki itu kembali teringat dongengan tentang ular yang mlilit sebatang pohon dan merayu Hawa untuk memakan buah terlarang itu.

Mei 2011

Cerita Empat: DIALOG SEPASANG GORILLA

Sepasang gorila bercengkerama di dalam kerangkeng. Mereka membicarakan  sepasang remaja yang berkasih-kasihan di depan kandang, "Aku malu" kata gorilla lelaki pada pasangannya. "Kenapa besar kemaluanmu,kanda?" Gorila jantan tersenyum, lalu menjawab "Lihatlah remaja masa kini, duduk ngangkang sembarangan, tidak pakai celana dalam lagi." Gorila betina itu lalu uring-uringan "Dasar lelaki mata keranjang, sukanya memandang sesuatu yang bukan miliknya. Au malu kanda."

Cerita Lima:  CANDA BUAYA (BUKAN JANDA)

Sepasang buaya asyik bercanda di dekat kolam. Mereka terusik oleh ulah manusia yang berpura-pura manja, merajuk, meneteskan air mata hanya untuk mendapatkan perhatian berlebih. Kata buaya betina, "Aku letih!" Buaya jantan lalu bertanya, "Kenapa sayangku, kenapa letih?" dan dijawab buaya betina, "Lihatlah, kelakuan wanita muda itu. Pura-pura menangis dan meminta dibuatkan tas dan sepatu dari kulit buaya".


April 2011


Cerita enam: CATATAN DI BUKU HARIAN DAM

Pukul 20.51 WIB
Dia Amat Murka. Setelah lelah ibadah, lidah terasa terbelah. Engkau pun duduk lungkrah. Muntah-muntah. "Ah, sepertinya aku hamil muda, tetapi siapakah bapak biologisnya?" Tentu saja Dia Amat Murka.

Pukul 20:57 WIB
Pada lembar terakhir diary kutulis selarik puisi: pada bayang malam kumenemu pualam, di cahaya mata itu lalu kutulis pada Diary Ambang Malam. Berkali-kali kukatakan, "diamlah, damai akan bersemi"
Aku diam. Engkau diam. Diam-diam kita saling pandang dan rasa damai pun bersemi.

Sebuah tembang menyusup dada di ambang petang, "Angin Mamiri kupasang..." Lalu kembali aku terkenang saat perahu phinisi melancar di atas riak dan ombak. Masih jelas terdengar suaramu serak " Abang, lautan akan mengasuhmu sepenuh gelombang. Jangan lupa daratan ya abang..."  Kini, saat sendiri, kembali kupandangi Diorama Angin Mamiri lengkap dengan ilustrasi kapal phinisi.


April 2011



Cerita tujuh: DARI DOR SAMPAI TERROR

Anak-anak di kelas itu ditugasi oleh gurunya untuk mengumpulkan kata yang bersuku kata "or". Kata-kata itu lalu disusun dalam untaian kalimat sederhana yang dideretkan dan ditulis di papan tulis dari atas ke bawah. Ini kalimat biasa, dan jangan pernah memahami dan memaknai sebagai puisi, meski bentuk penampilannya serupa puisi. Inilah kalimat yang ditulis oleh para  siswa:

dor seorang penjahat menembakkan senjata rakitan
ledakan itu tidak jauh dari sumur bor
getarannya membuat genteng rumah bocor
orang-orang berlarian hanya mengenakan kolor yang kotor
hei, siapa yang teriak berantas koruptor?

daripada error, lebih enak makan mie celor
setelah kenyang biasanya orang-orang lantas molor
remaja hilir mudik mengendarai motor

buruh harian sering menerima honor di hari satu
kontraktor kerjanya hilir-mudik seperti traktor
tahukah tempat motivator kesohor?
sssst, di negeri ini amat banyak terror

Begitulah, ya, begitulah

April 2011

Cerita Delapan: GENANG KENANGAN

GARIS HIDUPKU semula serupa lukisan abstrak, lalu naturalis, realis, dan kini lebih mengarah ke surealis. Semua garis hidupku tampak memanjang dari sebuah kelahiran di ranjang rumah sakit umum yang layanannya tak pernah sempurna, lalu garis itu memanjang ke tengah nuansa alam, menerobos hiruk-pikuk kota besar, menyeberang lautan, dan kemudian melingkar-putar kembali ke haribaan Ilahi.  Tentu kalian tahu semua itu terbaca pada jejak kakiku. Ingatlah. Kenangan bagaimana kita bersua dengan aneka suara dan rupa.Saat itu menjelang fajar ketika mentari masih malu-malu mengintip genit dibalik awan, masih tersisa senyuman rembulan seolah menggoda dengan pendaran cahayanya. Aku merebahkan tubuh setelah letih bergumul dengan mimpi yang selalu sama. Angin sejuk dari kipas angin di ujung ranjang menyelinap di antara jemari kakiku tidak mampu menyejukkan panasnya hati ketika tiba-tiba potongan peristiwa itu terlintas begitu saja di sudut kenanganku.

April, 2011


Cerita Sembilan: KATAKAN DENGAN BUNGA

Aku duduk di beranda. Saat itu kulihat matamu mengerjap serupa matahari di bibir cakrawala. Ada binar keharuan. Ada rindu kebiru-biruan. Saat  itu engkau duduk di sandaran sofa. Di tanganmu yang terbuka sebuah buku puisi "Romantika Senja". Bibirmu sedikit tergetar saat baris-baris puitis menyergap:

katakan dengan bunga pada insaninsan melupa
sapa dan sapu debu di setiap lubang porinya..."

Di dalam hati aku bertekad akan selalu mengatakan segalanya dengan bahasa bunga. Indah. Merekahkan makna yang penting sebagai acuan bagi hidup dan kehidupan. Kubulatkan tekad, aku akan menyebarkan virus cinta bagi sesama sebagai sebentuk pengabdianku selaku manusia yang memasuki usia senja; telah kusiapkan diriku melakukan serangkaian perjalanan menuju ke keabadian; telah kulipat segala hasrat bercumbu, selain hanya mencium harum kelopak bunga-Nya. Telah kupersiapkan bekal, peta penunjuk arah, kompas, dan ujung jalan. Kusadari lorong perjalanan ini akan menemu banyak jalan simpang, dan rambu-rambu penghalang. Telah kubulatkan tekad dan semangatku untuk berjihad melawan segala yang mendatangkan kemiskinan dan kebatilan. Aku akan menyapa dan menyapu debu yang lekat di setiap pori-pori waktu.

Mei, 2011

Cerita Sepuluh: BUTIR MUTIARA

Pikiranku lalu menerawang berusaha keras memahami butir-butir mutiara yang berkilau dan teruntai menjadi kata-kata yang membuatnya terpesona "hakikat hidup berawal dari lubang dan kelak kembalike liang". Ya, sesederhana itukah hidup? Bukankah urusan hidup itu penuh karut-marut dan keruwetan masalah? Sering datang satu masalah, belum selesai, telah disusul masalah lain yang meminta diselesaikan? Bukankah persoalan kehidupan manusia itu sangat rumit? Terkadang manusia terhimpit oleh berbagai persoalan? Benarkah hakikat hidup itu berawal dari lubang dan pada akhirnya kembali ke liang?  Di dalam diri manusia hakikatnya ada sembilan lubang yang harus dan nyata-nyata dipelihara. Pernahkah kalian menghitung sembilan lubang yang terdapat dan melekat dalam tubuh manusia? Urusan hidup ialah urusan memenuhi lubang-lubang itu: satu lubang pada mulut, dua lubang pada mata, dua lubang pada hidung, dua lubang pada telinga, satu lubang pada kemaluan, satu lubang pada anus.

Mei, 2011

Cerita Sebelas: JERAT MASA SILAM

Aku harus meyakini bahwa aku harus mampu keluar dari jerat masa silam ini, bayang itu harus menjadi visual yang tak perlu aku genggam terus biar langkah ke depan benar-benar bercahaya tanpa gerhana, tanpa siluet yang menjadikan aku kian terbenam dalam kubang nestapa yang tak terperikan. Dan aku harus memulainya dari sekarang, genang kenangan itu biarlah menjadi muara akhir dari sepenggal perjalanan. Aku harus lebih kuat dari seluruh peristiwa, karena hakikatnya, hidup adalah perjalanan panjang yang hanya dapat ditaklukkan dengan kekuatan jiwa yang utuh.

2011
                                                     
Cerita Duabelas: KORUPTOR SENI


Aku rintis jalan lain dengan membangun sanggar seni yang kuberi nama Galery Art Painting And Shop (PAPAS). Aku berhasil mengoleksi dan menghimpun aneka ragam karya seni dari seniman dunia, merasa bangga memiliki cita rasa tinggi, selalu senang hati saat diminta untuk memberikan sambutan pembukaan pameran seni atau bazaar seni. Selalu menebarkan senyum bagi pemburu koleksi karya seni. Tetapi, hiks, sesungguhnya aku merasa kesepian yang amat sangat. Kesepian yang menggelisahkan batinku. Aku ingin berkarya, menghasilkan apa saja. Tetapi aku tidak bisa. Suatu ketika, kedua tangan ini diborgol dan akhirnya aku benar-benar hidup dalam penjara yang gelap.

Mei, 2011

Kamis, 10 Maret 2011

KISAH SENJA

~ sebuah cerpenpen (cerita pendek yang pendek) ~


SENJA duduk di beranda. Matanya mengerjap serupa matahari di bibir cakrawala. Ada binar keharuan. Ada rindu kebiru-biruan. Senja merapatkan duduknya di sandaran sofa. Di tangannya terbuka sebuah buku puisi "Romantika Senja". Bibir Senja sedikit tergetar saat baris-baris puitis menyergap hatinya:

"katakan dengan bunga pada insaninsan melupa
sapa dan sapu debu di setiap lubang porinya..."

Di dalam hatinya, Senja bertekad akan selalu mengatakan segalanya dengan bahasa bunga. Indah. Merekahkan makna yang penting sebagai acuan bagi hidup dan kehidupan. Senja membatin, aku akan menyebarkan virus cinta bagi sesama sebagai sebentuk pengabdianku selaku manusia yang memasuki usia senja; telah kusiapkan diriku melakukan serangkaian perjalanan menuju ke keabadian; telah kulipat segala hasrat bercumbu, selain hanya mencium harum kelopak bunga-Nya. Telah kupersiapkan bekal, peta penunjuk arah, kompas, dan ujung jalan. Kusadari lorong perjalanan ini akan menemu banyak jalan simpang, dan rambu-rambu penghalang. Telah kubulatkan tekad dan semangatku untuk berjihad melawan segala yang mendatangkan kemiskinan dan kebatilan. Aku akan menyapa dan menyapu debu yang lekat di setiap pori-pori waktu, begitu Senja menata pikirannya.

Kejora mata Senja kembali berbinar begitu menemu larik-larik  puisi sebagai untaian mutiara:

"hakikat hidup berawal dari lubang
dan kelak kembali ke liang...."

Pikiran Senja lalu menerawang berusaha keras memahami butir-butir mutiara yang berkilau dan teruntai menjadi kata-kata yang membuatnya terpesona "hakikat hidup berawal dari lubang dan kelak kembalike liang". Ya, sesederhanakan itukah hidup? Bukankah urusan hidup itu penuh karut-marut dan keruwetan masalah? Sering datang satu masalah,belum selesai,telah disusul masalah lain yang meminta diselesaikan? Bukankah persoalan kehidupan manusia itu sangat rumit? Terkadang manusia terhimpit oleh berbagai persoalan? Benarkah hakikat hidup itu berawal dari lubang dan pada akhirnya kembali ke liang?

Hem. Ya. Manusia hidup tak terlepas dari lubang atau liang. Terkadang,untuk memenuhi hajat kehidupan orang harus gali lubang dan tutup lubang, meminjang uang sebagai utang dan memperpanjang penderitaan lantaran utang terbayar dengan cara meminjamutang yang baru. Manusia ada dan tercipta, lahir dari sebuah lubang vagina lalu tumbuh bersama lubang-lubang lainnya di dalam tubuhnya. Di dalam diri manusia hakikatnya ada sembilan lubang yang harus dan nyata-nyata dipelihara. Pernahkah kalian menghitung sembilan lubang yang terdapat dan melekat dalam tubuh manusia? Urusan hidup ialah urusan memenuhi lubang-lubang itu: satu lubang pada mulut, dua lubang pada mata, dua lubang pada hidung, dua lubang pada telinga, satu lubang pada kemaluan, satu lubang pada anus.

Senja meraba mulutnya. Oh,  apakah yang selama ini keluar dan masuk dari lubang mulut ini? Jenis makanan apakah yang telah masuk ke dlam mulut? Kata-kata apa sajakah yang telah keluar dari lisan ini? Senja bergetar mengingat semua lalulintas yang keluar-masuk dari mulutnya. Lalu, apa pula yang telah kucium dengan kedua lubang hidung ini? Apakah aku mencium semata hal-halyang baik? Apakah aku juga mencium hal-hal yang tak layak dicium seperti perbuatan aib, membuat malu, atau mencium ketidakadilan di sekeliling? Senja menghela nafas seakan ingin memeriksa warna udara yang diciumnya.

Lalu apakah yang telah kudengar? Apakah lantunan ayat-ayat yang penuh nasihat keselamatan? Apakah telingaku ini hanya mendengar lagu-lagu duniawi yang lebih mengungkapkan kecengengan? Apakah telinga ini sanggup mendengarkan kebenaran dan menjauhkan dari gosip dan isue mufrahan? Senja meraba lubang di telinganya, ternyata lubang telinganya penuh dengan kotoran. Debu-debu waktu, noktah,dan suara-suara minor memenuhi lubang telinganya.Senja bergetar, lalu lidahnya mengucap "Allahu Akbar, ampunilah lubang telingaku".

Senja kian bergetar saat mengingat riwayat syahwat yang sering berloncatan di lubang kemaluannya. Senja kian bergetar saat sembilan lubang dalam dirinya melaporkan aneka kejadian dan peristiwa yang dialaminya. Senja menjerit dan melengkingkan keresahannya "Ya,Allah, sebelum aku memasuki liang lahat, tolong bersihkanlah setiap lubang di dalam diriku."

Senja meninggalkan beranda. Menutup buku. Ia bergegas memasuki pintu kamarnya. Ia buka pintu kamar mandi. Ia buka baju dan segala pakaian yang melekat di tubuhnya. Ia lalu mandi. Ia gosok semua kotoran di setiap lubang. Ia lalu bergegas sembahyang. Pasrah. Menyerahkan kediriannya di hadapan Allah.

Sabtu, 26 Februari 2011

SEBUAH LUKISAN DI TELAPAK TANGAN

~ Fiksi Mini Dimas Arika Mihardja ~

GARIS hidupku yang semula bagai lukisan abstrak, kini kupastikan bernuansa surealis. Hal ini kusadari justru di balik penjara yang gelap ini. Aneh, justru di dalam kegelapan aku dapat melihat cahaya terang. Cahaya Maha Cahaya yang menerangi kegelapan batin.

KOLEKSI benda-benda seni yang kumiliki tetap berada pada tempatnya. Lukisan "Pertempuran" karya Yogis kupajang berdampingan lukisan "Matahari" karya Affandi, lukisan "Potret" S. Sudjoyono,dan kaligrafi Amang Rahman hingga Amri Yahya simetris dengan lukisan "Monalisa" Leonardo da Vinci, goresan Van Gogh, Picasso dan lukisan etnis lainnya. Topeng-topeng pemberian Danarto, wayang kulit punokawan yang dibawa Dimas Arika Mihardja dari Jogja terpajang persis di tengah-tengah ruangan, berdampingan dengan patung-patung Asmat dan aneka aksessoris dari berbagai etnis di nusantara terpajang pada seonggok tonggak dan ranting kayu yang kupahat menyerupai sosok perempuan.

BEBERAPA malam ini aku tak pulang ke rumah. Entah kenapa, aku lebih merasa nyaman tinggal di sanggar kerja daripada di rumah yang cenderung resah dan gelisah. Di sanggar ini aku lebih merasa leluasa memusatkan konsentrasiku untuk berkarya. Terus terang, aku sesungguhnya malu karena selama ini aku hanya pintar mengoleksi benda-benda seni karya seniman terkenal. Aku ingin juga berkarya. Mungkin dengan berkarya, akan membuat hidup kian berwarna penuh makna. Tapi, apakah yang dapat kuperbuat dan kulakukan? Menulis puisi? Menggarap naskah lakon? Melukis? Menata tari? Ah, aku sungguh tak tahu harus memulai darimana dan berbuat apa.

PILIHANKU mengurung diri di sanggar kerja ternyata mendatangkan masalah besar. Aku merasa seperti tinggal di dalam menara yang menjulang ke langit dan menembus awan-awan biru. Aku merasa tinggal di dalam penjara yang kubangun sendiri untuk membongkar rahasia bahasa langit. Sanggar ini memang kubangun dengan hasil keringat sendiri dan dimaksudkan untuk menampung hasil kreativitas seniman nusantara dan di dunia ini. Tetapi, ah,aku sama sekali tak mampu berkarya. Tak satupun karya yang berhasil kulahirkan sebagai buah ekspresi. Aku adalah seseorng yang gagal. Gagal dalam segala hal. Gagal sebagai ibu,lantaran aku tak pernah sanggup menanam janin di rahimku. Gagal sebagai seniman, lantaran aku hanya menghamburkan uang  untuk mengoleksi karya seni.

AKU RINTIS JALAN LAIN dengan membangun sanggar seni yang kuberi nama Gaalery Art Painting And Shop (PAPAS). Aku berhasil mengoleksi dan menghimpun aneka ragam karya seni dari seniman dunia, merasa bangga memiliki cita rasa tinggi, selalu senang hati saat diminta untuk memberikan sambutan pembukaan pameran seni atau bazaar seni. Selalu menebarkan senyum bagi pemburu koleksi karya seni. Tetapi, hiks, sesungguhnya aku merasa kesepian yang amat sangat. Kesepian yang menggelisahkan batinku. Aku ingin berkarya, menghasilkan apa saja. Tetapi aku tidak bisa. Suatu ketika, kedua tangan ini diborgol dan akhirnya aku benar-benar hidup dalam penjara yang gelap.

SENJA itu aku pulang ke rumah setelah bertahun mendekam di penjara lantaran didakwa sebagai penyelundup koleksi seni. Sesampai di rumah, tak banyak yang berubah. Satu-satunya yang tetap terpajang di dinding ruang tamu ialah lukisan "Pertempuran" karya Yogis, dan koleksi lainnya telah diangkut ke kepolisian sebagai bukti barang curian atau selundupan. Diam-diam aku merasa dn harus sanggup menghadapi realita, sepahit apapun realita itu.

GARIS hidupku yang semula bagai lukisan abstrak, kini kupastikan bernuansa surealis. Ha lini kusadari justru di balik penjara yang gela. Aneh, justru di dalam kegelapan aku dapat melihat cahaya terang. Cahaya Maha Cahaya yang menerangi kegelapan batin. Begitulah kisahku, sahabatku. (DAM)

TWO MIEN NEM ~ Cerpen Dimas Arika Mihardja

WANITA setengah baya itu aslinya kukenal sebagai Tuminem, tetapi lantaran dipaksa oleh keadaan, di KTP-nya tertulis Two Mien Nem. Siang hari ia bekerja sebagai pramuwisma, tenaga kerja wanita, atau lazim disebut sebagai pembantu rumah tangga. Malam harinya, ia mangkal di kawasan Pucuk Dicinta Ramarama--sebuah kawasan prostitusi ilegal yang pajak dan pendapatannya dimasukkan ke dalam aset kota ini. Malam itu, Two Mien Nem lari tergopoh-gopoh mendekatiku, "Tolonglah aku mas. Aku sungguh takberdaya menghadapi semua ini, " katanya sambilterisak-isak.
     "Lha, ada persoalan apa to? Lha,mbok terus terang saja, barangkali aku bisa membantu. Tapi mbok ya jangan pake mewek segala to. Hayo, katakan saja terus terang, ada apa?"
     Two Mien Nem tak segera membuka bibirnya yang sexy. Bibir itu bergetar seakan mengisyaratkan ada beban perasaan yang menekan. Isaknya bertambah keras. Ia tampak berusaha keras menahan beban perasaan itu. Akibatnya, air matanya menderas membasahi pipinya yang seperti lebah bergantung itu. Isaknya kian keras hingga dada yang menyangga payudara yang sedikit terbuka itu pun berguncang-guncang. Bocah lelaki usia setahun yang ada di pangkuannya, lekat dalam pelukannya. Kepala bocah itu ikut terguncang-guncang. Bocah itu lekat menatap wajah ibunya,dan entah kenapa bocah itu turut menangis.
     "Mak, ma-em," rengek bocah lelaki itu, "lapar  Mak..."
     "Hus, cep, diamlah. Aku juga lapar. Ibu juga haus"
     "Mak, mimik cucu", tangan bocah itu lalu merogoh susu Two Mien Nem.
     "Diamlah sayang, diam. Emak juga haus. Bertahun-tahun emakmu kehausan. Diamlah. Emakmu tak bisa lagi memberimu air susu> Air susu emak telah habis dikuras lelaki iseng."
     Bocah itu tak mau diam. Ia bahkan berteriak-teriak bahkan menjerit hingga Two Mien Nem terpaksa membungkam mulut si anak dengan tangannya. Aku tak tinggal diam. Sebagai satpam aku harus bertindak demi menjaga kawasan Pucuk Dicinta Ramarama, "Hayo ikut aku!"
     Two Mien Nem kuseret ke rumah kontrakan. Sesampai di dalam rumah, kuperintahkan agar Two Mien Nem dan anaknya bersitirahat, "Tidurlah di kamar ini. Malam ini kau tak perlu beroperasi. Kasihan si kecil.  Angin malam tak baik untukkesehatannya."
     "Tapi..."
     "Tidur sajalah. Anggap rumah sendiri. Aku harus kembali ke lokasi, sebab malam ini ada kunjungan istomewa dari cukong dan bandar narkoba. Aku harus mengantarkan pesanan yang diminta. Tidur sajalah. Oh, ya, kalau kau lapar itu ada sisa nasi dan ikan asin yang bisa kau makan, atau jika mau masakkan mie instan buat anak lelakimu."
     Malam itu Two Mien Nem tak dapat memejamkan mata.  Setiap matanya terpejam, bayangan masa lalunya datang membayang-bayangi seperti hantu. Sambil membelai dan mengelus-elus rambut anak lelakinya, ia berusaha mengeyahkan bayangan masa lalu yang membuatnya terdampar di kota dan membuatnya terlunta-lunta dalamkeadaan luka.
                                                                                 +++
     Peristiwa lima tahun lalu masih segar dalam ingatannya. Saat itu ia harus meninggalkan kampung halaman,karena ada pembangunan waduk raksasa di wilayahnya "Tum, lebih baik kau pergi ke kota bersamaku' buujuk Wakidi suatu hari, 'ya, daripada ikut transmigrasi di daerah tandus dan asing. Di kota, kau dengan mudah mendapatkan uang dan pekerjaan."
     "Tapi, apa yang dapat kulakukan di kota? Sedikit pun aku tak memiliki keterampilan."
     "Kau lihat sendiri, apa yang telah kuperoleh saat ini. Ini adalah bukti bahwa tanpa keterampilan dan ijazah, aku bisa sukses di kota."
     Dalam pandangan Tuminem waktu itu, Wakidi adalah seorang yang pantas dipercaya. Penampilannya perlente dan keren. Gaya bicara Wakidi meyakinkan. Itulah sebabnya,tanpa pikir panjang ia memutuskan untuk mengikuti ajakan Wakidi ke kota. Esok paginya, Tuminem berangkat ke kota bersama mobil mewah yang dibawa Wakidi. Tuminem tak menaruh curiga tatkala mobil yang dikendarai oleh Wakidi berhenti di pinggir jalan. Tuminem mengedarkan pandangan di kiri dan kanan jalan yang penuh ditumbuhi semak dan perdu. Wakidi turun dari mobil dan membuka kap mobil untuk memeriksa mesin. Tangannya sibuk memegang kabel, memeriksa tabung oli, dan katup aki. Di tengah kesibukannya, sebenarnya Wakidi sedang mencari cara bagaimana mempedaya Tuminem, gadis yang lugu dan ayu, bunga desa yang sedang tumbuh mekar dengan keindahannya tersendiri.
     "Wah, gawat,mobil rusak, " ujar Wakidi sekenanya.
     "Rusak?"
     "Ya, sebaiknya engkau turun dulu Tum. Kita bisa istirahat dulu di bawah pohon besar itu," tangan Wakidi menunjuk ke sebuah pohon besar di pinggir jalan, agak jauh ke bukit. Untuk sampai ke pohon besar itu, harus dilalui lorong dan jalan berliku di antara semak dan perdu. "Di sana kita bisa sarapan dulu Tum," ujar Wakidi sembari menyodorkan nasi bungkus.
     "Tuminem menuruti perkataan Wakidi. Mereka berdua berjalan beriring menapaki lorong di antara semak dan perdu. Pemandanagan di tempat itu mengingatkan kita pada gambaran film nasional yang menggambarkan lokasi untuk adegan perkosaan. Ya, di tempat yang serama dan sepi itu, Tuminem dijadikan sarapan Wakidi. Tuminem berusaha berontak saat Wakidi mulai menunjukkan isyarat kurang ajar menjamah bagian tubuhnya dan melepaskan pakaian yang dikenakan oleh Tuminem. Usaha Tuminem sia-sia. Wakidi ternyata lebih kuat dan lebih berpengalaman menundukkan seeorang perempuan. Tuminem akhirnya tercampak di antara semak. Ia ditinggal pergi oleh Wakidi.
                                                                                    +++
Two Mien Nem masih mengusap rambut anak lelakinya. Dari kedua ssutu matanya meluncur butiran bening membasahi kedua pipinya. Dengan punggung tangan ia mengusap aliran air mata itu. Sebisanya, Two Mien Nem berusaha memejamkan matanya. Setiap kali matanya terpejam, bayangan masa lalunya yang suram kembali menerornya. Bagi Two Mien Nem, waktu itu, Tuan Anggodo adalah tempat berlindung setelah tercampak karena ulah Wakidi. Saat itu, tuan Anggodolah yang datang sebagai penyelamat dan membawanya ke kota. Tuan Anggodo telah bermurah hati memberi tumpangan dan mengajaknya sampai ke kota. Saat itu ia diminta tinggal di rumah mewah keluarga besar Tuan Anggodo. Tuminem saat itu diminta Tuan Anggodo di rumah mewahnya.
     Telah tiga tahun Tuminem yang wajahnya seperti gadis etnis Cina itu  menyandang nama baru: Two Mien Nem. Two Mien Nem oleh Tuan Anggodo diminta membantu membersihkan rumah dan perabot yang ada di dalamnya, bahkan ia diberi kesempatan pula mengikuti kursus kecantikan di Salon terkenal di kota itu. Tetapi, memasukipertengahan tahun, malapetaka pun kembali menimpa Two Mien Nem. Anggoro, anak tuan Anggodo, waktu itu pulang dari studi di Amerika. Dalam pandangan mata Two Mien Nem, ada sorot mata aneh saat bertatapan pandang dengan Anggoro. Two Mien nem merasakan pandangan aneh dari sorot mata Anggoro, semacam pandangan orang jatuh cinta.
     Malam itu keluarga besar Tuan Anggodo pergi menghadiri resepsi pernikahan kerabatnya di sebuah hotel mewah di kota ini. Saat itu, Two Mien Nem tinggal sendiri di rumah sembari menikmati film kesayangannya "Titanic". Tuminem suka dengan kisah di dalam film itu, sebuah kisah romantik yang dianggapnya tragik tetapi menarik. Begitu asyiknya Two Mien Nem menikmati adegan film "Titanic", ia tidak menyadari bahwa Anggoro telah berdiri di belakangnya, "Tum, lihatlah, aku bawakan video film baru yang lebih seru dibanding "Titanic" kesukaanmku itu. Putarlah," ujar Anggoro sembari mengulurkan video yang dibawanya.
     Two Mien Nem menerima uluran video dari tangan Anggoro untuk kemudian memasangnya. Tuminem tiba-tiba badannya menggigil dan bergetar begitu menyaksikan gambar film yang baru saja di tayangkannya. Di sebuah kolam renang, sepasang insan,lelaki dan wanita melakukan adegan intim, secara halus,lembut, santun, dan bercita rasa tinggi. Two Mien nem buru-buru bergegas memasuki kamarnya, lantaran malu dan tidak menyangka kekurangajaran Anggoro membawakan video mesum seperti itu. Tak berapa lama, Anggoro mengikuti langkah Two Kien Nem dan memasuki kamarnya. Di kamar mewah itu, sekali lagi, Two Mien Nem menjadikorban nafsu lelaki. Two Mien Nem saat itu memang tk berdaya, sebab ternyata oleh Anggoro ia dirangsang oleh kekuatan narkoba sehingga menghilangkan kewarasan pikiran Two Mien Nem. Dengan mengasup narkota dan menyaksikan adegan erotis, membuat Two Mien Nem dengan mudah dijadikan korban Anggoro.
                                                                     +++
     Two Mien Nem kembali mengusap air matanya yang deras mengalir. Ia kembali terisak-isak. Peristiwa masa lalunya menekan batinnya. Pikirannya bergolak dan berkecamuk. Kembali ia berusaha mengatupkan kedua matanya. Tepaii, meskipun kedua pelupuk matanya terkatup, tetapi  bayangan masa lalunya terasa menindihnya. Ia gelisah. Resah.Tak tentu arah. Dielusnya kepala anak lelakinya dengan perasaan yang tak menentu. Setelah anaklelakinya tertidur, ia pun turut memejamkan matanya. Setiap ia mengatupkan matanya, bayangan masa lalunya yang membuatnya terpuruk kembali mengusiknya. Dadanya berguncang-guncang menhan kecamuk dan gejolak dalam hatinya.
     "Oalah, ngger, anakku, sungguh malang nasibmu." Two Mien Nem mengeluh sembari mengusap peluh di dahi anak lelakinya, "Jadilah seorang lelaki yang kuat dan tabah ya Nak, hingga kelak kau dapat menyelamatkan dirimu dari kekerasan di luar dirimu. Ibumu memang lemah dan tak sanggup menjaga diri, tetapi kepada siapa aku mesti mengadu? Kepada siapa aku mesti minta perlindungan sedang ayahmu saja tidak jelas siapa orangnya? Maafkan Ibu ya, ngger, anakku, ibu tak bermaksud menelantarkanmu. Keadaanlah yang menggiring kita dalam penderitaan ini."
     Dada Two Mien nem terus berguncang-guncang lantaran beban batin yang menindihnya. Ia tak sadar bahwa ambang fajar telah merekah. Ini berarti bahwa ia telah menangis semalam suntuk. Buru-buru ia mengusap simbahan air matanya ketika terdengar langkah kaki memasuki rumah. Setelah menyisir rambut dengan jemari tangannya, Two Mien nem melangkah menyambut seseorang yang datang. Ia menjumpai pemilik rumah sedang istirah di balai-balai depan rumah kontrakannya.
     "Baru pulang ya Mas?", sapa Two Mien Nem berbasa-basi.
     "Ya, banyak tamu semalaman di lokasi, aku harus lembur sampai pagi. Oh, ya, tadi ada tamu agung yang mencarimu."
    "Siapa mas?"
    "Wakidi."
     Mendengar nama Wakidi, Two Mien Nem melengos. Dadanya kembali naik-turun tak beraturan. Dengan nada ketus Two Mien nem berkata, "untuk apa lelaki brengsek itu mencariku? Tak ada gunanya bagiku!"
     "Ada juga lelaki yang mengaku sebagai Anggoro juga mencarimu."
     Two Mien Nem matanya berkunang-kunang. Nasibnya seperti layang-layang putus benang. Tetapi di dalam hatinya teguh untuk menghindari semua itu. Menghindari urusan dengan lelaki. Yang Ia pikirkan kini hanyalah satu, mengasuh dan mendidik anak lelakinya.
     "Tum," bisikku dekat di telinga Two Mien Nem, "Anak lelakimu kok mirip aku ya? Hitam manis."
     Two Mien nem tak menjawab,hanya mencubit lenganku kuat-kuat. Aku pura-pura mengaduh. Lalu tak lama setelah itu, Two Mien Nem luruh dalam pelukanku. Sebagai satpam, aku harus memberikan pertolongan pada Two Mien nem. Kini kuputuskan untuk menolong Two Mien Nem dan ikit bertanggung jawab bagi masa depan anak lelakinya yang mirip dengan aku. Aku dan Two Mien Nem sepakat meninggalkan lokasisasi itu yang memang akan dibangun lapangan golf. Sebelum nasibku dan nasib Two Mien Nem tergusur sebagai akibat pembangunan, kami berdua sepakat membangun mahligai rumah tangga.

(Cerpen ini pernah dimuat di Sriwijaya Post, Minggu 21 Februari 1993)

Jumat, 25 Februari 2011

LINDUNG YANG TAK SEMPAT MENEGUK BATANGHARI


Cerpen  Hasan Al Banna

Udara hotel membekukan napas Lindung. Ia sejatinya benci gigitan udara dingin. Tapi paling tidak, ia kini lebih leluasa menanggalkan kepenatan yang membungkus tubuhnya selama puluhan jam. Ya, perjalanan darat dari Medan ke kota Jambi benar-benar menyiksanya. Di dalam bis yang sesak, umpatan Lindung melitakkan hatinya sendiri. Tak pernah aku bayangkan jika siput uzur yang mengantarkanku ke kota ini
Maka, ups, mandi adalah hal ingin ia nikmati segera. Berendam di bath up! Ya, sebuah kamar di lantai empat telah menunggunya. Namun, air hangat tak sebenar mampu menyembuhkan kelelahan. Hanya saja, selepas membersihkan badan, ia merasakan sesuatu meliuk di perut. Lindung merasa tidak lapar. Tapi perut kosong bakal mudah menagih angin, lantas akan mendenyutkan gigi gerahamnya yang berlubang. Maka ia meraih gagang telepon, memesan nasi goreng spesial dan jus jeruk melalui resepsionis. Sambil menunggu, ia menyalakan televisi. Namun, Lindung cuma menyaksikan wajah istrinya di situ, kendati remote di tangannya berkali-kali mengganti chanel.
Entahlah. Sesal baginya serupa penyiksaan dalam yang wujud lain. Jujur, ia masih mencintai Shinta. Pun sebaliknya, ia percaya, Shinta tak pernah surut merajut selimut kasih-sayang untuknya. Lantas, mengapa ia tak butuh banyak pertimbangan untuk menerima tugas dinas ke Jambi? Tiada lain demi keinginan Lindung untuk rehat sejenak dari percekcokan. Padahal, dengan posisi jabatan yang lumayan berpengaruh, mudah baginya menolak, atau melimpahkan kepada yang lain. Tapi hal itu tidak ia lakukan. Mana tahu keadaan membaik dengan menghindar beberapa saat, pikirnya. Tapi sumpah, niat untuk kabur dari pertengkaran tidak semulus perkiraan. Lindung kini malah sibuk berkelahi dengan hatinya sendiri, bahkan jauh lebih sengit!
Ponselnya mengerjap, mengirimkan sebuah pesan dari Shinta. Adakah kekasihku melihat bintang malam ini? Bertaburan di langit, dihiasi cahaya bulan sabit. Mmh, istrinya tak juga kehilangan selera romantisnya. Ia merasa, pertengkaran mereka belakangan ini tak lebih dari luapan perasaan yang sedang keruh. Buktinya, sejak meninggalkan Medan, sudah beberapa kali Shinta mengirim pesan-pesan manis. Namun malam ini, Lindung sedikitpun tak berhasrat membalas. Ia cuma ingin membunuh insomnia yang kerap mengganggunya akhir-akhir ini!
Denting bel kamar telah mengirim hidangan ke hadapan Lindung. Tapi ia malah merebahkan diri di atas springbed. Ah, langit-langit kamar mengelebatkan peristiwa-peristiwa pertengkarannya dengan Shinta. Diam-diam ia mengaku bersalah. Puncak kekacauan bermula dari pertemuan—tanpa sengaja—Lindung dengan mantan pacarnya, Mutiara. Lantas, pertemuan berlanjut ke meja makan. Seterusnya, keluhan-keluhan tentang kondisi rumah tangganya pun bergulir begitu saja. Tak cukup sekali. Janji bersua dirancang ulang, dan ditunaikan berkali-kali. Sampai akhirnya terendus Shinta.
Usia pernikahan Lindung-Shinta baru empat tahun. Masih penuh gula. Tapi itu tak menjamin bahtera rumah tangga jauh dari badai masalah. Kekuatan cinta sepasang suami-istri rupanya begitu mudah porak oleh sebuah kenyataan: buah hati belum juga meriuhkan rumah! Keluarga besar Lindung, yang tak merestui pernikahan mereka turut memperkeruh alur persoalan. Cibiran menggelinding, Itulah kalau tak dengar nasihat orangtua. Tengoklah, hingga kini kalian belum juga menghadiahkan cucu pada kami, meskipun itu hanya orok. Kualat! Mmh, Lindung kehilangan tenaga untuk membantah. Kita ini orang Batak, Lindung. Tak ada anak berarti aib. Masih banyak perempuan yang subur...
Sungguh, menceraikan istrinya dengan alasan tak mampu memberikan keturunan, dan dalam umur pernikahan yang masih belia, bukan pilihan yang bijaksana. Apalagi menurut dokter, mereka berdua sehat-sehat saja. Tapi, kian hari Lindung kian terseret ke sudut yang pitam. Amarah pun mudah pecah. Tak jarang, hanya gara-gara mendapati Shinta datang bulan, sudah cukup untuk menyulut pertengkaran panjang. Konyol? Tapi, yah, begitulah…
Shinta pun tak lebih baik kondisi batinnya ketimbang Lindung. Semuanya menjadi kacau! Dalam keadaan jiwa yang tertekan, segala tindak-tanduk dan ucapan Lindung—juga keluarga suaminya—senantiasa meninggalkan goresan luka. Apalagi setelah pengakuan Lindung tentang pertemuan-pertemuan rahasianya dengan Mutiara, Shinta kalap hati. Untuk urusan ini, madu bagiku racun. Ceraikan aku! Kata-kata yang menyengat itu melecut dada Lindung. Aku tak ingin cerai. Aku masih mencintaimu! Lindung membela diri. Memang, tak ada secuil pun rencananya untuk memutus simpul pernikahan. Bahkan untuk selingkuh pun tidak! Ia cuma butuh teman cerita. Tapi akhirnya ia paham, seharusnya bukan Mutiara orang yang dipilih untuk menampung perasan keluh-kesahnya.
Tapi sikap dan kelakuanmu berkata seperti itu! Shinta bertambah berang. Lindung bungkam. Membela diri baginya hanya memanjangkan usia percekcokan. Maka, ketika perintah dinas lima hari ke Jambi mengetuk meja kerjanya, ia langsung mengangguk. Tapi lagi-lagi, pertengkaran sudah siap pula menyambut. Agaknya, sikap diam yang mereka pilih di sela sengketa kata-kata, hanya untuk menyiapkan kekuatan baru untuk beradu mulut lagi.
Pergilah! Kau sudah buat janji yang lebih rapi dengan perempuan jalang itu kan?
Heh, jangan gampang menuduh! Jaga mulutmu, Shinta! Amarah Lindung mendesakkan kalimat yang tak kalah pedas. Kasar! Telapak tangannya mengokang ayunan, membidik wajah Shinta.
Ayo, tampar aku! Tampar! Kau pun sama jalangnya dengan perempuan itu. Pandai kau membelanya, ya? Lalu, tangis pun rubuh lebih deras dari guyuran hujan yang menggedor malam.
Lindung kembali bungkam. Menahan diri, tepatnya. Ayunan tangannya surut. Senyap. Hujan mengendap. Angin padam. Lantas, mereka berdua pun tidur saling memunggungi. Kamar mendadak pasi. Keesokan harinya, selain kebisuan, lelehan air mata Shinta turut melepas keberangkatan Lindung.
¤ ¤ ¤
Sebenarnya pekerjaan Lindung sudah rampung sebelum waktunya. Tapi ia tak hendak memajukan jadwal kepulangan. Kendati, demi Tuhan, Lindung tak menampik jika kerinduan terhadap istri sering menyergap. Tadi malam, istrinya berkabar lewat pesan singkat. Medan hujan. Udara dingin. Ingin aku berselimut di tubuhmu. Merebahkan tubuh di dadamu. Menikmati belaianmu. Menghirup aroma napasmu. Tapi kau jauh, kekasih. Ah! Jambi pun sedang bergelimang hujan. Namun, ranjang dan selimut hotel bukanlah Shinta… Maka, demi mematuhi rencana kepulangan, ia setuju menyanggupi tawaran Pak Saimin, rekan kerja selama di Jambi untuk berkeliling-keliling kota. Kebetulan, selama dinas, ia hampir tak ada waktu untuk berjalan-jalan. Pulang ke hotel menjelang tengah malam, ia sudah lelah. Paling Lindung keluar untuk mencari makanan. Menu hotel acap tak berjodoh dengan lidahnya. Bah, bangunan mewah tak selalu memanjakan selera. Sebuah warung nasi kusam di samping hotel lebih paham kemauan perutnya. Pun ia lebih sering menghabiskan segelas kopi di warung itu. Lagi pula, antrean panjang kendaraan yang memburu BBM sampai dini hari melumpuhkan hasratnya untuk memutari kota itu.
Nah, kini saya bawa kamu naik kapal pesiar. He he. Saya sengaja menyewanya untuk kita berdua, ajak Pak Sarimin setelah beberapa jam menyusuri jalanan kota Jambi. Lantas, mereka pun sudah berada di haribaan Batanghari, bersamaan dengan dering panjang pesan di ponselnya. Aku teringat ketika kita menikah. Waktu kau ucapkan janji ikatan, aku berdebar. Aku adalah milikmu dan kau adalah milikku. Sudah makan siang, kekasihku?Sudah. Aku kini di atas perahu ketek. Menjelajahi Batanghari. Oya, besok aku pulang. Mau oleh-oleh apa? Lindung tak juga bisa menanggalkan wajah istrinya dari angan. Sumpah, entah kenapa ia ingin segera pulang. Tentu dengan hati yang damai. Pun begitu pula harapannya terhadap Shinta. Seandainya saat ini bersamamu, aku ingin menjadi matahari bagi Batanghari. Tapi aku tak mau menjadi duri. Aku rindu! Shinta menyambung pesan. Lindung menimba napas ke dada yang pedas. Mau oleh-oleh apa? Ia mengulang penggalan pertanyaannya.
Bawakan aku kisah tentang Batanghari. He he. Istrinya membalas dengan sebaris canda. Tapi Lindung sedang tak tergiur berseloroh, meskipun permintaan itu cukup menyita pikirannya. Lindung memalingkan muka ke sekeliling. Di tepian Batanghari, bangkai-bangkai perahu tergolek. Tak obah tulang-tulang yang berantakan. Para penambang pasir bertubuh legam sibuk mengeruk jantung Batanghari. Mmh, cuma mengenakan celana dalam para pekerja itu. Dari arah berlawanan, speedboat melintas dengan suara mesin yang menyayat telinga. Perahu ketek yang melaju lamban, terayun-ayun oleh riak sungai. Suara klotak-klotak mesinnya timbul-tenggelam.
Medan hujan lagi. Aku gigil dalam kerinduan. Shinta kembali menyapa. Sedang sorot mata Lindung menikam Batanghari. Ia hendak menagih janin cerita untuk Shinta. Tapi, mendadak ia terperanjat. Batanghari seketika berombak. Apa ini? Perahu ketek berpapasan dengan sebuah kapal tongkang. Ia berpegangan lama. Pak Sarimin tersenyum. Dalam kecemasan, Lindung terkenang Shinta.
Ah, kisah apa yang bisa aku kemas untukmu?
¤ ¤ ¤
Perempuan itu bernama Batanghari. Tubuhnya elok, semampai. Ia memiliki mata yang jernih. Napasnya wangi. Batanghari begitu mencintai seorang lelaki, sebuah perahu gagah yang ia tempa dari selengkung tulang rusuknya.
Izinkah aku menempuh keluasan samudera, wahai gadisku, Batanghari, kata sang perahu suatu hari.
Apa maksud kata-katamu itu?
Tak ada maksud apa-apa.
Engkau jenuh bersamaku?
Tidak. Kadang, kekokohan cinta harus diuji dengan sebuah kepergian.
Begitukah?
Ya!
Berhari-hari Batanghari menimbang-nimbang permintaan kekasihnya. Alhasil, meski dengan berat hati, Batanghari pun luluh juga untuk melepas sang kekasih.
Baik. Pergilah, tapi jangan kau tak kembali! Jangan kau biarkan sungai yang lebih elok menawan hatimu!
O, percayalah, Batanghari gadisku. Aku akan kembali dengan cinta yang lebih gemilang. Sepulang mengelana, aku pinang kau!
Tugu janji pun telah dipahat. Batanghari tersenyum, terharu. Ia menyerahkan tubuhnya ke dada perahu yang padat, sang kekasih bertubuh hangat. Maka pada sebuah hari yang ditumpahi hujan, Batanghari melepas kekasihnya ke samudera luas. Derai air mata, dan debar dada bertakhta di dadanya.
Namun, abad demi abad berlalu, kekasihnya tak kunjung menepati janji. Maka telah berabad-abad pula perempuan itu menangis. Tak terhitung jumlah perahu yang tergolek, dan tak tertafsir perahu yang lahir, kekasihnya tak pernah berkabar. Kini, tubuhnya menyusut, masam. Kedua matanya kian keruh, kian jauh...
¤ ¤ ¤
Jangan pusing-pusing. Ceritakan saja itu kepada istri kamu, bisik Pak Sarimin sembari terkekeh usai memenuhi permintaan Lindung untuk bercerita tentang Batanghari. Lindung tak mengangguk, tak pula menggeleng. Entahlah. Selama dalam perjalanan menuruti arus Batanghari, guraun Pak Saimin dianggap angin lalu. Tak enak hati juga ia kepada Pak Sarimin. Tapi agaknya, Pak Sarimin tak terpengaruh. Lelaki setengah baya itu terus saja berceloteh.
Kini, perahu ketek sudah berbalik arah, menentang arus Batanghari. Lindung setengah menengadah. Cuaca menggambar mendung di langit. Kepak angin mengirimkan gerimis. Sedangkan Shinta kembali mengirim pesan. Hujan telah pergi. Langit cerah. Bias matahari merangkai pelangi. Iringan awan menyatu melukis wajahmu yang tampan. Pada pelangi aku menuliskan harapan. Untuk cinta dan kebahagiaan.
Lindung terombang-ambing dalam tegun. Ia masih sedang berupaya keras merancang kisah tentang Batanghari. Cerita aneh dari Pak Sarimin biarlah tersimpan dalam kepalanya saja. Ia khawatir, Shinta malah menyahut oleh-oleh tersebut dengan sindiran, Di manapun lelaki sama saja, pengkhianat!
Ah, Lindung penat. Bahunya ditepis-tepis gerimis. Angin menggoyang perahu ketek. Sekelebat ia raih riak-riak Batanghari, lantas ia percikkan ke wajahnya. Hati-hati! Konon, kalau kamu minum air Batanghari ini, bakal lupa kamu jalan pulang. Menjadi betah kamu di sini. Ha, tapi, kalau kamu berniat mencari istri simpanan di kota ini, minumlah air Batanghari barang seteguk. Berani? Ha ha ha. Baris gigi Pak Saimin yang tak lengkap pun terlihat jelas. Kali ini Lindung tertawa. Tapi hanya untuk menghargai lawan bicara.
Diam-diam, ia bersyukur tak sempat meneguk Batanghari. Tapi, andai pun ia mereguk habis Batanghari, ia yakin bakal tak buta jalan pulang. Jalan menuju kekasihnya, istri yang masih dicintainya!
Shinta, semoga kau suka nenas goreng khas Jambi...

Jambi-Medan, 2008


Hasan Al Banna. Menetap di Medan bersama istrinya, Dewi Haritsyah Pohan, dan seorang putri, Embun Segar Firdaus. Lahir di Padangsidimpuan, 3 Desember 1978. Menyelesaikan SD, MTsN, dan MAN 1 di Padangsidimpuan serta menyelesaikan Program S1 Bahasa dan Sastra Indonesia FBS—Universitas Negeri Medan (Unimed). Sejak tahun 2005 bekerja di Balai Bahasa Medan, Depdiknas. Sejumlah karyanya selain dipublikasikan di berbagai media massa juga terangkum dalam antologi puisi Dian Sastro for President! End of Trilogy (2005), Jogja 5,9 Skala Richter (2006), antologi cerpen Dari Zefir sampai Puncak Fujiyama (2004), dan antologi esai Jendela Terbuka (2005). Cerpennya berjudul Tiurmaida termaktub dalam antologi 20 Cerpen Indonesia Terbaik 2008 (PT Gramedia Utama).



DI UJUNG SENJA

Kado Cerpen untuk Ultah DAM dari Rd M Maskur (Peserta Penulisan Kreatif)

DI UJUNG SENJA

Mataku yang cekung menatap tetesan-tetesan cairan glukosa di dalam tabung infus yang menggantung di atas kepalaku. Kusadari betapa lemahnya aku sekarang. Lemah, lemah seperti lidi yang rapuh. Tak lagi aku kuasa mengunyah makanan sendiri seperti sedia kala. Aku bertahan hanya dengan cairan glukosa itu. Sungguh aku sudah benar-benar berada di titik nadir lemahku. Sering sekali aku bertanya mungkinkah ini akhir lembar kisah hidupku? Berapa kali lagi aku diizinkan menarik dan menghembuskan nafas di bumi ini? Berapa kali lagi mataku diizinkan untuk mengerdip dan berapa kali lagi jantungku diizinkan berdegup?

Kalau kupikirkan pertanyaan-pertanyaan itu terasa begitu sedih hatiku. Sedih, sedih tak terbendung seperti air bah zaman Nabi Nuh yang mengalir yang tak bisa ditahan oleh telapak tangan raksasa sekalipun, ia akan menenggelamkan segalanya, segala perasaanku dalam lautan kesedihan. Belakangan ini, selama dua hari terakhir. Semenjak penyakitku bertambah parah. Aku yang ringkih ini selalu saja terkenang bayang-bayang kenangan masa lalu tentang ayah dan ibuku yang telah lama berpulang ke pelukan-Nya.

Teringat aku ketika menangis di pangkuan ibuku dulu, ketika itu dibelai-belainya rambutku agar aku diam dan tersenyum kembali. Teringat ketika aku berhasil membawa rapor dengan rangking satu bertapa girangnya aku dibawa ayah pergi ke pasar menuruti semua kehendak nafsu anak kecilku. Aku selalu termimpi-mimpi masa ketika aku kanak-kanak ketika aku suka sekali bermain kelereng, terjun ke sungai, membelah semak untuk mencari anak burung dan menggoda teman-teman yang perempuan bersama teman-teman karibku yang pada nakal-nakal karena mereka memang dalam masa nakal, masa kebanyakan kanak-kanak laki-laki yang hobi bertualang. Tetes air mataku bila terkenang semua itu.

Dua bulan sudah aku terbaring di sini, di rumah sakit Raden Mattaher, di ruang penyakit dalam. Dua bulan yang lalu dengan berbekal kartu askeskin aku dibawa kemari untuk dirawat seadanya. Di dalam ruangan penyakit dalam, di kamar nomor 3 ini ada enam ranjang, masing-masing terisi penuh oleh manusia-masusia yang sakit. Bermacam-macam penyakitnya, ada yang terkena penyakit tumor, penyakit uzur karena sudah tua, kena malaria, bahkan yang terkena penyakit kanker prostat juga ada di situ.

Terasa amat perihlah hatiku bila berkumpul dengan mereka. Terasa benar kalau aku ini sedang sakit, berpenyakitan, tak berguna lagi, hanya menjadi beban orang lain. Sedih hatiku. Tubuhku tak lagi segagah dulu. Kini aku hanya tulang berbungkus kulit yang digerogoti penyakit tbc dan diabetes yang menyiksaku seumur hidupku semenjak aku tamat SMA beberapa tahun lalu.

***

Di ujung senja ini, selalu saja aku rasakan damai seperti bayi yang dibuai ibu di dalam ayunan kain yang digantung di ruang tengah rumah yang tenang. Aku belakangan ini sangat suka dengan warna putih. Warna putih begitu sejuk di mataku. Warna kain alas tempat tidurku yang putih terasa begitu lembut di mata. Putih suci. Aku terbaring di dekat jendela yang menghadap ke luar sehingga nampak di mataku ketika matahari yang mulai bersembunyi ketika magrib tiba. Sungguh aku sangat menyukai senja dan aku bersedih bila ia pergi ditelan malam.

Sayu mataku menatap langit-langit kamar ruangan penyakit dalam nomor 3 ini. Kulihat warnanya putih, suci. Hatiku jadi tenang menatap warna itu sebab akhir-akhir ini aku amat menukainya. Sanak kerabat bergantian mengunjungiku di ruangan yang penuh sesak dengan orang-orang sakit ini. Bila kulihat wajah mereka memandangku dengan iba, aku sebisa mungkin tersenyum menahan perasaanku yang terasa begitu sedih. Tak ingin kuperlihatkan kepada mereka bahwa aku ini sedang berada di lembah kesedihan, di ujung senja yang sendu.

Aku tahu kalau hati mereka merasa iba kepadaku. Tak ingin aku menambah-nambah keibaan dan kegetiran di hati mereka bila melihatku yang ringkih ini menangis sedih. Apa? Aku seorang idealis. Ya, memang aku seorang idealis. Seorang idealis yang tak mau memperlihatkan sedih di mata siapa pun, siapa pun. Kecuali kepada-Nya, aku tak bisa berbohong kalau aku tengah bersedih. Cukuplah Yang Maha Melihat itu yang menyaksikan derai air mataku jatuh berderai ke dalam hati dan menciptakan samudra airmata yang sendu.

***

Aku dapat merasakan itu. Dapat kurasakan aroma tubuh Izrail yang kian mendekatiku. Aku tidak lama lagi di kolom ruang fana ini. Pernah suatu malam aku bermimpi tentang sebongkah tanah berbentuk manusia yang mengajakku berbicara. Suara itu "Aku telah lama menunggumu, kemana saja kau?" Aku hanya diam tak menjawab. "Jawab pertanyaanku!" Suara itu sedikit membentak.
"Siapa kau?"
"Kau lupa padaku? Dariku kau diciptakan. Akulah tanah".

Begitulah, percakapan yang selalu terngiang di telingaku semenjak mimpi itu kerap hadir dalam tidurku. Dan semakin percaya aku tak lama lagi jantungku akan berhenti berdetak, mataku akan berhenti berkedip dan paru-paruku tak akan lagi menarik nafas. Aku akan mati. Tanah sudah rindu padaku. Dan mataku kini telah akrab dengan warna putih. Dan kain alas tempatku berbaring ini seputih kain kafan.

Berkali-kali sosok tanah itu hadir dalam mimpiku membentangkan tangan dengan wujudnya berbentuk manusia, seperti hendak memelukku dan mencumbuku habis-habisan, hendak melumatku dalam peluk birahinya, seperti seorang kekasih yang telah amat rindu ingin mencumbu kekasihnya yang selama ini menghilang dari dekapnya.


Jambi, 18 Juni 2010

Sabtu, 19 Februari 2011

Cerpen TSI Jambi:

Pulang

Cerpen Hary B Kori’un


“BAPAK masuk rumah sakit tadi malam. Stroke-nya semakin parah. Kami semua berharap kamu bisa pulang. Kami memang memerlukan bantuanmu untuk biaya rumah sakit, tetapi kehadiranmu juga sangat penting bagi bapak. Siapa tahu...”
          Hujan deras. Jalanan tertutup butir-butir air. Sepi. Hutan lebat hampir sepanjang perjalanan tadi mengingatkanku pada sebuah masa ketika aku masih berada di kampung, di sebuah lokasi transmigrasi di Rimbo Bujang, Kabupaten Tebo. Hutan lebat yang kemudian oleh keluargaku --juga keluarga-keluarga lain yang menjadi pendatang di sana— dibabat dan dijadikan ladang. Hingga lima tahun, kami masih bisa menanam padi ladang karena humus masih tebal. Tetapi tahun keenam dan selanjutnya, kami harus membeli pupuk, itupun hasilnya tak seperti yang kami harapkan. Dan kemudian, kami menjadikannya kebun karet yang hingga kini menjadi penopang hidup keluargaku.
          Sudah lama aku tak pulang ke kampung.  Kampung keduaku  tepatnya, karena keluargaku pindah dari Jawa lewat program transmigrasi. Lima belas tahun yang lalu aku meninggalkan kampung dan tak pernah pulang setelah itu. Hingga aku menyelesaikan kuliah di Padang, berpindah ke Jakarta, Palembang dan kemudian menetap di Pekanbaru, aku memang tak pernah pulang. Aku tahu jalan pulang, tahu bus mana yang akan mengantarkanku ke rumah, atau membawa mobil sendiri, tetapi aku tak melakukannya. Aku masih ingat tiga kakak yang tinggal di kampung, ibuku, juga bapak. Beberapa kali mereka datang ke Pekanbaru, kecuali bapak,  tetapi aku memang tak pernah pulang.
          Istriku selalu menyuruh aku pulang, minimal saat lebaran, namun aku tak pernah melakukannya selama lima belas tahun ini. “Tidak bagus menyimpan dendam. Tuhan mengutuk orang yang menyimpan dendam, apalagi dendam pada keluarga sendiri,” kata istriku.
          Kukatakan padanya bahwa aku tak dendam pada siapapun. Aku hanya tak ingin pulang. “Aku telah membangun hidupku di sini. Aku ingin mengubur masa lalu...”
          “Keluargamu adalah masa lalumu yang tak akan bisa pernah kamu kubur. Mereka adalah bagian dari darahmu, ada darah mereka mengalir di tubuhmu. Tak akan ada yang namanya mantan bapak, mantan ibu, mantan kakak atau mantan adik. Ke manapun kamu berada, mereka adalah bagian dari hidupmu. Sedangkan aku, istrimu ini, jika kita bercerai misalnya, maka aku akan menjadi mantan istrimu dan kita  tak punya ikatan apa-apa lagi. Sedang mereka, tidak...”
          Aku sudah melewati Teluk Kuantan dan sebentar lagi sampai ke Bukit Betabuh. Hujan masih deras dan jalanan basah.  Ketika mendapat sms dari Mas Handoko bahwa bapak sakit, aku tak banyak bereaksi dan seperti sebelum-sebelumnya, Mas Handoko juga selalu bilang begitu setiap bapak masuk rumah sakit. Namun istriku mengingatkan bahwa umur bapak sudah sangat sepuh, sudah lebih 76 tahun. “Pulanglah. Jika kamu tak mau membawa aku dan Abimanyu pulang, pulanglah sendiri. Mungkin bapak memang ingin bertemu denganmu. Aku menikahimu karena aku mencintaimu dengan segala yang ada padamu. Aku juga mencintai seburuk apa masa lalumu...”
          Berkali-kali istriku mendesak agar aku pulang. Bahkan dia sampai menangis ketika aku tetap diam tanpa reaksi. “Aku tak pernah berpikir untuk menjadi pemisah hubunganmu dengan keluargamu. Ayolah, pulanglah, siapa tahu...”
          “Siapa tahu ini kesempatan terakhirku ketemu bapak? Dulu Mas Handoko juga mengatakan begitu, tetapi bapak juga tetap hidup dan panjang umur...”
          Aku memang akhirnya berangkat dan menyetir mobil sendiri. Abimanyu dan istriku tak ikut, aku sengaja tak mengizinkan mereka ikut. Aku tak tahu, setiap yang berhubungan dengan masa lalu dan keluargaku, aku selalu mencoba menjauhkan dari orang-orang, juga anak dan istriku. Tapi kini, ketika mobilku sudah masuk perbukitan dengan jalan berkelok, tikungan tajam, turunan curam dan hujan yang tak pernah berhenti, aku merasakan gelisah yang luar biasa.
          Tiba-tiba aku rindu bapak, juga saudara-saudara yang lain. Mungkin bapak benar-benar sudah sepuh, berbeda dengan lima belas tahun yang lalu, atau masa sebelumnya ketika dia masih kuat, baik fisiknya maupun suaranya yang menggelegar dan sering membuat aku mati ketakutan dan bersembunyi di kolong tempat tidur atau di kandang ayam...
                                                ***
AKU ingat persis ketika itu. Di sebuah sore yang hujan lebat dengan petir menyambar, aku ketakutan di dalam rumah. Bapak, ibu dan tiga kakakku berada di ladang. Aku disuruh menjaga rumah, juga  menunggui  gabah yang dikeringkan. Namun, ketika tiba-tiba hujan lebat, aku menjadi ketakutan. Aku memang takut petir. Dan aku meringkuk di tempat tidur sambil menutup kepala dengan bantal ketika petir itu menyambar-nyambar.
Bapak, ibu dan ketiga kakakku pulang ketika hari hampir gelap dan hujan sudah berhenti. Ketika aku belum menyadari sepenuhnya apa yang terjadi, tiba-tiba bapak sudah datang dengan sapu lidi di tangannya. “Anak setan! Tugasmu di rumah adalah menjaga gabah supaya tidak kehujanan. Lihatlah!” katanya sambil menyeret tubuhku yang kurus dan ringkih keluar rumah, dan aku melihat gabah yang dikeringkan kini sudah tak berbentuk lagi. Banyak yang dibawa aliran air. Aku menangis sejadi-jadinya dan minta ampun. Ketiga kakakku tak berani menolong, juga ibuku. Aku menggapai-gapai meminta tolong, tetapi bapak memang tak bisa dibantah siapapun dan aku diseret ke halaman. Beberapa saat kemudian tubuhku lebam-lebam karena pukulan sapu lidi dan raunganku tak berarti apa-apa karena memang tak ada yang berani menolongku.
Tidak sampai di situ, ketika hari sudah benar-benar gelap, bapak memerintahku agar mengangkat buah-buah pepaya yang pohonnya tumbang akibat angin dan hujan tadi. Pohon pepaya itu buahnya memang banyak dan segar-segar, dan mungkin karena kebanyakan buah itulah saat angin datang gampang tumbang. “Angkat buah-buah itu, bawa ke dapur!” suaranya terdengar menggelegar.
Dengan sisa tenagaku, aku berjalan menuju pohon pepaya yang tumbang itu, sekitar lima puluh meter dari rumah.  Satu-satu aku mengangkat pepaya itu dan lama-lama getahnya membuat gatal di tubuhku. Mungkin juga akibat luka memar karena pukulan sapu lidi bapak itu, dan terkena getah kental berwarna putih itu. Aku menangis sepanjang pekerjaan itu dan ketika ibuku akan membantuku, bapak membentaknya. “Biarkan! Biarkan dia merasakan beratnya perjuangan untuk hidup! Ini hukuman, kita yang di ladang bekerja, tetapi dia malah melalaikan tugasnya menjaga gabah. Kita harus banting tulang untuk menanam padi, dan dia tinggal menjaga saja malah lalai!”
Ibuku pun surut dan hanya memandangku dari dalam rumah dengan tangisnya. “Dia masih kecil,” katanya.
“Dari kecil dia harus tahu sulitnya hidup!”
Aku benar-benar tak tahan dengan gatal di tubuhku dan memohon kepada bapak agar boleh istirahat. Namun bapak memang tak boleh ditawar. Hingga kemudian aku  benar-benar tak memiliki tenaga lagi dan seluruh badanku terasa gatal, sakit dan aku tak ingat apa-apa lagi. Mungkin tengah malam, aku terbangun dan melihat ibuku memelukku sambil menangis. Ketiga kakakku juga di kamar, tetapi aku tak melihat bapak. Suhu badanku tinggi dan aku benar-benar merasa tak kuat menahan rasa sakit dan gatal di kulit.
Aku selalu ingat peristiwa itu, juga peristiwa-peristiwa lainnya yang kemudian memunculkan kesimpulan dalam pikiranku, bahwa bapak tidak menyukaiku, tidak menginginkan kelahiran dan keberadaanku. Aku merasakan perbedaan bagaimana dia memperlakukan ketiga kakakku. Tapi aku berusaha membuang jauh-jauh perasaan iri itu, yang ada dalam pikiranku –dan ternyata itu tertanam dalam jiwaku hingga aku dewasa—adalah bahwa bapak memang tidak menyukaiku.
***
HUJAN tetap deras dan air mengalir di jalanan. Sepi, tidak banyak mobil yang datang dari arah berlawanan dan Lintas Sumatera seperti jalan hantu. Hantu di musim hujan, hitam, lengang dan aku semakin merasa bahwa perjalananku bukan semakin dekat, tetapi justru semakin jauh. Padahal, dari Koto Baru ini, tinggal dua jam lagi akan sampai ke rumah. Sampai ke rumah yang pernah menjadi kenangan masa kecilku yang sekian waktu berusaha kukubur.
“Kenapa bapak tidak suka dengan saya, Bu?” tanyaku suatu saat kepada ibuku.
“Dia mencintaimu, juga kakak-kakakmu. Tetapi seperti itulah caranya mencintai, suatu saat nanti kalau kamu besar, kamu akan tahu bahwa dia begitu mencintai kita...” Ibuku berkata begitu sambil berjalan menuju dapur. Aku tahu dia menangis.
Ketika kembali lagi ke tempat tidurku dengan segelas air putih, aku melihat matanya sembab. “Begitukah cara laki-laki mencintai, Bu?” tanyaku lagi.
Ibuku mengangguk. “Iya, itu cara bapakmu mencintai. Tidak semua laki-laki begitu cara mencintai...”
Aku sakit berhari-hari sejak peristiwa itu. Badanku lemas, mulut dan perutku tak enak diisi makanan dan aku selalu kehausan. Tapi bapak tak pernah melihatku ke kamar, juga tak pernah menyuruh kakak-kakakku membawaku ke mantri kesehatan atau dokter di  Puskesmas. Aku hanya minum pil malaria dan beberapa jenis pil penghilang demam lainnya.
Hampir lima hari, dan akhirnya aku juga sembuh. Tetapi sejak itu aku menjadi ketakutan setiap melihat bapak dan sebisa mungkin menghindarinya. Ketika malam hari tiba, aku menjadi risau, bagaimana nanti kalau ketemu dengan bapak. Untungnya, sering teman-teman mengajakku pergi mengaji ke langgar dan kami ramai-ramai tidur di langgar tidak jauh dari rumah. Paginya aku pulang, mandi dan langsung pergi ke sekolah. Ketika aku pulang pagi itu, bapak sudah pergi ke ladang, sehingga aku tak sempat bertemu dengannya. Ketika pulang sekolah siang hari, aku juga sebisa mungkin menghindarinya. Biasanya ketika aku sampai di rumah, bapak sedang tidur siang. Dan sebelum bapak bangun, aku cepat-cepat makan lalu pergi ke sungai memancing ikan atau membantu membersihkan semak di sela pohon karet yang masih muda. Sore ketika sampai di rumah aku cepat mandi dan langsung pergi ke langgar.
Hingga kemudian aku tamat SMP, hal seperti itu selalu kulakukan. Meski memang masih sering dia memarahiku dan memukul atau bahkan menyiksa karena alasan-alasan yang bagiku kesalahanku tidak seberat hukumanku. Aku berusaha untuk tidak dendam dengan itu semua, tetapi lama-lama aku merasa bahwa semuanya tidak adil bagiku. Kesalahan sekecil apapun selalu menghasilkan hukuman bagiku, sementara tidak bagi kakak-kakakku.
“Bapak memang tidak menyukai saya, Bu...” kataku ketika kemudian aku tamat SMA dan ingin pergi dari rumah.
“Kamu mau pergi ke mana?”
“Saya ingin bekerja ke kota, Bu. Siapa tahu saya bisa bekerja dan sekolah lagi...”
Bapak tidak mencegahku ketika aku pergi tanpa pamit padanya meskipun dia ada di ruang tamu ketika aku membawa tas kecil berisi beberapa helai pakaian dan ijazahku. Ketiga kakakku juga tak bisa menahanku.  Mas Handoko sudah menikah, juga Mbak Harmini. Keduanya sudah tinggal di rumah sendiri, tidak jauh dari rumah. Hanya Mas Budi yang masih tinggal di rumah. Kami berdualah yang membantu di kebun karet. Mas Budi selalu mengatakan bahwa hidup harus diteruskan, dan tak perlu mencari tahu mengapa seseorang begitu marah dan kadang seperti membenci kita. “Tak perlu kita membenci bapak. Kehidupan kerasnya di masa lalu membentuk jiwanya seperti itu,” kata Mas Budi beberapa kali ketika kami istirahat sehabis menakik getah atau mengangkutnya sampai di rumah.
Aku tidak menjawabnya, tetapi aku selalu mengatakan kepadanya bahwa aku ingin kuliah. Aku tidak mengatakan itu kepada bapak, tetapi aku tahu bapak tahu keinginanku itu. Namun hingga aku membawa tas dan pamit kepada ibu akan pergi ke kota, bapak tidak bicara sepatah katapun kepadaku.
Aku keluar pintu dan tak menoleh lagi meski aku tahu ibu menangis. Sejak itu, aku tak pernah kembali ke rumah tetapi mereka selalu tahu di mana aku berada selama lima belas tahun ini...
***

AKU tak tahu, mengapa sepanjang perjalanan hujan tidak mau berhenti. Setengah jam lagi aku akan sampai ke rumah dan aku melihat banyak yang berubah sepanjang perjalanan menuju rumah. Dulu, lima belas tahun yang lalu, tak ada instalasi listrik di sepanjang jalan, jalan belum diaspal dan tak banyak orang yang punya mobil. Kini, banyak rumah bagus berdiri, mobil lalu-lalang dari dan menuju kota kecamatan, dan jaringan telepon seluler juga sudah ada di sini.
Namun hujan benar-benar tidak mau berhenti, dan aku menghentikan mobil, menepi ke sebuah warung kecil tidak jauh dari simpang yang jaraknya sekitar tujuh kilometer lagi dari rumah, ketika mendengar ada nada pesan pendek di ponselku. “Kami tahu,  mungkin memang berat bagimu untuk pulang. Tetapi bapak selalu berharap suatu saat kamu mau pulang ke rumah, karena ini juga rumahmu...”
Ketika hanya beberapa menit lagi akan sampai ke rumah, tiba-tiba petir menyambar dengan keras dan aku terkejut. Peganganku pada stir nyaris terlepas dan mobil oleng ke kanan, keluar dari aspal. Aku berhenti dan kembali melihat ada pesan pendek di ponselku. “Bapak tidak sempat menunggumu untuk pulang. Kami semua sudah merelakannya dan kami berharap kamu mau memaafkannya. Kata bapak, kamu tetap anaknya, tidak seperti yang selalu ada dalam pikirannya sejak kamu lahir karena kecemburuannya pada seorang laki-laki lain yang pernah mencintai ibu kita. Bapak bilang, kamu anak terbaik dan dia bangga dengan apa yang kamu dapatkan selama ini. Relakan dan maafkan bapak...”
Seakan ada yang lepas dari tubuhku. Badanku terasa ringan seperti kapas, mataku berair, hatiku pedih... hanya beberapa menit lagi, mengapa bapak tidak mau menungguku? Hanya beberapa menit lagi, tidak lebih dari satu kilometer lagi. Tidak lebih. Tetapi jarak dan waktu itu seperti bentangan lima belas tahun lamanya.***

Pekanbaru, 23 Februari 2006


Tentang Penulis

Hary B Kori’un adalah alumni Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Andalas (Unand) Padang. Lahir di Pati (Jawa Tengah), besar di sebuah lokasi perkebunan di Rimbo Bujang (Jambi) hingga menamatkan SMA di sana dan kemudian kuliah sambil belajar menulis di Padang. Novelnya, Nyanyi Sunyi dari Indragiri (Gurindam Press Pekanbaru, Desember 2004) terpilih sebagai novel terbaik Riau 2004 dalam Lomba Menulis Novel Yayasan Bandar Raja Ali Haji Pekanbaru dan memperoleh “Ganti Award I 2004”. Novel lainnya,  Nyanyian Batanghari (Akar Budaya Yogyakarta, Agustus 2005)  pernah menjadi cerita bersambung di Harian Republika (Januari-Maret 2000).  Novel Jejak Hujan (Grasindo Jakarta, 2005)  masuk nominasi 10 Besar Lomba Menulis Novel Radio Belanda kerjasama dengan Penerbit Grasindo. Novel lainnya, Malam, Hujan (Gurindam Press Pekanbaru, Juni 2006) menjadi 1 dari 5  nominasi “Ganti Award II 2005”.  Novel lainnya, Mandiangin (Gurindam Press Pekanbaru 2008)  juga menjadi 1 dari 5  nominasi “Ganti Award III 2007”. Selain menulis novel juga menulis cerpen yang dimuat di beberapa media seperti Sinar Pagi, Mutiara, Singgalang, Haluan, Sriwijaya Post, Lampung Post,  Riau Pos, Pekanbaru Pos, Riau Mandiri, Suara Riau, dan beberapa media lainnya. Beberapa cerpen dan tulisan lainnya juga masuk dalam beberapa buku antologi seperti Kaba dalam Kaba (Yayasan Taraju Padang, 1994), Anugerah Sagang 2000 (Yayasan Sagang Pekanbaru, 2000), Magi dari Timur (Yayasan Sagang Pekanbaru, 2003), Yang Dibalut Lumut (CWI Jakarta, 2003), Mencintaimu (Logung Pustaka Yogyakarta, 2004), Seikat Dongeng Tentang Wanita (Yayasan Sagang Pekanbaru, 2004), Satu Abad Cerpen Riau (Yayasan Sagang, 2004), Tafsir Luka (Yayasan Sagang, 2005), Jalan Pulang (Yayasan Sagang, 2006),  Keranda Jenazah Ayah (Yayasan Sagang 2007), Komposisi Sunyi (Yayasan Sagang, 2007) dan Krisis Sastra Riau (Yayasan Sagang, 2007). Mendapatkan penghargaan dari Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) sebagai nominator Cerpen Terbaik Indonesia 1998.  Menulis buku tentang sejarah sepakbola, yakni Kerbau Merah dari Indarung: Semen Padang di Lintas Sepakbola Indonesia  (PT Semen Padang, 2002). Saat ini bekerja sebagai wartawan di Harian Riau Pos, Pekanbaru, dan editor buku-buku terbitan Yayasan Sagang.

Alamat:
Rumah: Jl. Sidomakmur Gg. Arafah No. 1 Arengka Atas, Kelurahan Maharatu Kecamatan Marpoyan Damai,  Pekanbaru-Riau
Kantor: Harian Riau Pos, Jl Soebrantas KM 10,5 Pekanbaru-Riau
E-mail: habeka33@yahoo.com