Sabtu, 19 Februari 2011

Cerita Mini (CerMin): PENGAKUAN CINDY


Cerpen: Dimas Arika Mihardja

CYNDY namaku. Lahir dan besar di kota ini. Aku tidak perawan lagi. Jangan kaget. Sewaktu berusia 15 tahun kuserahkan kegadisanku pada Myzakar, seorang akademisi yang hobinya makan daun muda. Lelaki itu sebenarnya beinisial MK, tetapi aku lebih suka menyebutnya Myzakar sebab dialah lelaki pertama yang menghidangkan zakar yang begitu besar di malam “Pesta”. Ya, pesta. Kami hanya berdua, menyantap hidangan di ranjang penuh gelombang dan goyang. Malam itu aku dijemput Myzakar di tempat indekost.
“Bersiaplah. Pukul 20.00 aku jemput kau”, begitu sapa Myzakar melalui handphone-nya.
“Bolehkah aku ditemani Winda?”, tanyaku ragu.
“Sendirian saja. Bukankah kita mau pesta?”
Ya, tepat pukul 20.00 kijang Innova silver berhenti tepat di depan pagar tempat kost. Klakson mobil itu berbunyi lirih, seakan berbisik memanggil-manggil namaku “Cindy, Cindy, Cindy”. Aku keluar kamar kost mengenakan payung motif bunga. Aku ingat betul saat itu gerimis tipis turun dari langit seperti airmata bidadari yang terluka hatinya. Badanku panas dingin begitu aku bersitatap dengan lelaki yang kelak kukenal sebagai Myzakar.
Pintu depan Innova terbuka. Aku masuk dengan berbagai macam perasaan. Ada perasaan gentar. Ada perasaan gemetar. Ada perasaan takut. Ada pula perasaan kalut. Aroma parfum Italiana menyambutku ramah dari interior mobil. Tapi sesungguhnya batinku gerah. Sebab ini hari sesungguhnya kubenci. Hari yang membuatku kehilangan harga diri. Hari yang membuat sekujur badanku nyeri. Waktu itu Myzakar membawaku memasuki sebuah hotel berbintang di kota ini.
Memasuki kawasan hotel adalah pengalaman baru bagiku. Apa yang akan terjadi di dalam kamar hotel? Aku berpikir dengan perasaan takut dan kalut. Siapkah aku melayani seorang lelaki bernama Myzakar yang tinggi besar? Aku baru berusia lima belas tahun waktu itu. Aku memang pernah mengalami mimpi indah. Mimpi yang membawaku hidup dalam gelimang kemewahan, jauh dari penderitaan yang kualami.
Oh, ya aku dilahirkan dari keluarga miskin. Orang tuaku kerjanya serabutan. Bapak bekerja sebagai kuli angkut di Pasar Angso Duo dan emak menjadi buruh nyuci di tetangga. Aku tidak pernah berkesempatan mencicipi hidup enak . Aku menjadi malas pergi sekolah, sebab kedua orang tuaku senyatanya tak sanggup mengongkosi sekolah 10 orang anaknya. Aku sebagai wanita yang berparas lumayan, segera memutuskan untuk mencari uang dengan mudah. Satu-satunya pekerjaan yang membuatku senang lantaran mendapatkan gelimang uang adalah menjadi pekerja seks komersial. Orang menyebutnya PSK.
Keputusanku menjadi PSK makin bulat ketika dari tangan Myzakar terulur lima belas juta untuk kegadisanku. Waktu itu aku memang merasakan sakit saat Myzakar merenggut kegadisanku. Aku menjerit lirih. Ada bercak darah di atas sprei. Myzakar setelah mendengus lalu mendengkur. Saat Myzakar mendengkur, aku bergegas mandi di hotel. Kupandangi diriku di cermin. Aku seakan tidak percaya atas segala yang telah kulakukan. Tak terasa, buliran air mata menetes membasahi pipiku. Aku menangis. Memangis menyesali apa yang telah kulakukan bersama Myzakar. Namun, aku segera menghentikan tangisku. Aku berusaha tersenyum. Ya, tersenyum. Namun di cermin aku melihat senyumku menjadi aneh. Seperti senyum yang memendam kepedihan.
***
CYNDY namaku. Aku lahir dan menjadi tua  di kota ini. Aku tidak perawan lagi. Meski wajahku penuh dengan make up, tapi garis keetuaan tak dapat kusembunyikan. Seperti ranjang tua, aku tidak lagi merasakan nikmatnya dunia. Tubuh kian renta. Duit tidak ada. Aku duduk diaduk oleh aneka perasaan berkecamuk. Dulu ada Myzakar, lelaki yang menyurukkan aku di lembah hitam ini. Ada rasa penyesalan merambati hatiku. Kenapa penyesalan selalu datang terlambat? Kenapa aku begitu mudah tergoda dunia glamour, dunia gemerlap penuh dengan lampu kerjap?
Cindy namaku. Seperti kupu-kupu. Aku pernah punya sayap warna-warni. Sebagai kupu-kupu aku tak bosan mengisap sari bunga. Berpindah dari satu tempat ke tempat lain sekedar menuruti naluri mendapatkan uang. Uang. Uang. Uang. Itulah yang ada dalam pikiranku saat itu. Uang. Uang. Uang. Uanglah yang membuat hidupku goyang. Kini aku telah memasuki usia senja. Sejak sore duduk mangkal di bebatuan Tanggo Rajo, menanti mangsa. Kemanakah Myzakar? Kemanakah lelaki mata keranjang yang menghambur-hamburkan uang demi nafsu menggebu?
Cindy namaku. Kini aku teronggok bagai jagung bakar dengan rasa pedas, asin, dan manis.  Seperti jagung bakar, seluruh tubuhku telah kuolesi dengan aneka parfum. Tapi di manakah lelaki yang bisa menemaniku berbagi rasa senang dan menyodorkan uang? Ah, taman ini tak lagi indah. Sampah-sampah berserakan. Lampu-lampu taman tak lagi mampu menyembunyikan betapa risau wajahku. Anak-anak dan remaja yang bersendau gurau hanyalah membuat hatiku kacau, sebab sudah setua ini aku masih sendiri. Sendiri teronggok seperti jagung bakar yang dibalut berbagai macam rasa.
Iseng kupencet handphone-ku. Entah nomor siapa yang terpencet aku tidak peduli. Aku butuh uang. Siapa tahu orang yang kukontak adalah lelaki semacam Myzakar yang rela menghambur-hamburkan uang.
“Halo...”, suara di sebuah handphone. Suara laki-laki.
“Ya, maaf, bukankah Anda semalam menelefon saya?” jawabku dengan bahasa yang sesantun-santunnya. Suaraku memang tergolong merdu, seperti suara gadis remaja yang manja.
“Maaf, siapakah Anda?” Lelaki di ujung sana mulai ragu. “Apakah yang bisa saya bantu?”
“ Begini bang. Jika abang punya sedikit waktu saya pingin ketemu.”
“Di mana? Kapan?”
“Sekarang. Ada bisnis yang bisa kita bicarakan”.

***
 CINDY namaku. Aku lahir, besar, tua, dan barangkali mati di kota ini. Setelah bisnisku sebagai PSK tidak lagi membuahkan hasil aku justru memanen penyakit yang ditakuti oleh setiap orang. Aku terkena HIV/AIDS. Kini aku terbaring tak berdaya di sebuah kamar rumah orang tuaku di kampung. Tak seorang pun mau mendekatiku. Tak juga bapak, tak juga emak. Saudara-saudaraku mengucilkanku lantaran penyakit yang kuderita amat berbahaya dan bisa menulari mereka dengan hanya kontak badan.
Badanku demam. Panas dingin silih berganti. Aku kembali teringat sosok Myzakar dengan senyumnya yang khas. Aneka wajah lelaki lain hadir silih berganti seperti silhuet yang senyatanya menyileti perasaanku. Wajah Myzakar tak pernah lepas dari pikiranku. Terlebih-lebih ketika aku amat memuja karya pujangga di daerah ini. Banyak karya pujangga dari kota ini kukoleksi. Ada karya almarhum Ari Setya Ardhi, E.M. Yogiswara, Iif Ranupane, Acep Syahril, Iriani R. Tandy. Aku paling suka membaca novel-novel karya Meliana K. Tansri seperti “Layang-layang Biru”, “Belajar Terbang”, atau “Kupu-kupu”. Ketiga novel ini menggambarkan kerapuhan sesuatu, seperti kerapuhan jiwaku. Aku masih ingat, kata-kata Myzakar suatu malam, “Untuk apa kau baca karya-karya macam itu? Semua itu hanyalah sampah’. ‘Sampah?’ tanyaku saat itu, ‘Bukankah ini karya putra daerah ini yang mesti dihargai?’ ‘Tidak ada gunanya mengoleksi sampah’.  Aku bingung. Apa salahnya aku menyukai karya sastra yang dihasilkan oleh putra daerah ini?
Aku tergolek tak berdaya. Kamar rumah sempit ini adalah penjara bagiku. Kemanakah lelaki membawa pergi dan membelajakan uangnya? Di manakah Myzakar?
Seperti sastrawan Jambi, aku berusaha menulis sesuatu di ruang keterbatasanku. Di atas lipatan-lipatan kertas bekas kutulis sebuah catatan harian sebagai refleksi mengenai hidup dan kehidupan. Bacalah, semoga ada hikmah berharga dari situ. Inilah catatanku yang kuberi judul “Menuju Pemukiman Baru”.
“Kita, manusia, laksana embun yang bergantung pada ujung-ujung daun hijau. Bening dan suci dalam fitrah Allah Subhanallahu wa Taala. Namun ketika esok hari matahari terbit, terbit pula harapan kita untuk menguap dan terbang menuju hadirat-Nya. Aku dan hidupku hanyalah setitik embun yang menawarkan seberkas kesegaran. Embun itu kini telah menguap dan menghadap kepada zat Yang Maha Zat, menikmati kelezatan-Nya, bersemayam di pemukiman baru. Aku menguap pergi untuk menemukan ruang samadi yang jauh dari segala kepentingan duniawi.
Menurut kodrat-Nya kalian diciptakan dan difitrahkan untuk mendharma baktikan diri bagi insan yang sedang gencar melakukan pembangunan. Ingatlah, bangsamu saat ini sedang menghadapi persoalan besar menuju era tinggal landas. Kalian jangan hanya tinggal di landasan, sebagai korban. Jangan. Jangan tempatkan dirimu sebagai objek pembangunan. Tempatkan dirimu sebagai subjek yang berkemampuan. Jangan tempatkan dirimu pada keraguan, kesedihan, dan kegundahan. Lihatlah, sebentar lagi matahari globalisasi akan bersinar di bumi.
Tugas utama kalian saat ini adalah memerangi kemiskinan dan pemiskinan dalam segala hal. Bangsa kalian memang masih miskin dan tugas kalian adalah memerangi setiap upaya pemiskinan. Kalian mesti turun ke jalan membawa obor penerangan, memberikan pencerahan dan bimbingan agar bangsa kalian bisa melangkah ke pemukiman baru, yakni era tinggal landas menuju peradaban yang kita dambakan.
Pemukiman baru itu, akan penuh dengan keruwetan dan kekusutan seperti kusut dan ruwetnya kabel-kabel telekomunikasi, informasi, dan komunikasi. Pemukiman baru itu juga diwarnai keruwetan dan kekusutan pikiran, peradaban, dan kebudayaan. Tugas kalian adalah membenahi pemukiman kumuh itu dengan karya-karya nyata. Kalian juga harus membersihkan selokan pikiran yang mampet dan kotor. Kalian harus menata dan menatap masa depan dengan tatanan yang serasi, selaras, dan seimbang sehingga pemukiman baru itu benar-benar nyaman.
Pemikaman baru itu, tidak lagi memerlukan orang sepertiku yang sejak kanak-kanak telah mati. Biarkanlah aku mati. Kalian tidak perlu larut dalam duka berkepanjangan, sebab pemukiman baru yang akan kita huni nanti bisa gersang tanpa siraman keindahan, kebaikan, kearifan, dan moral kita”.
Kututup catatan itu dengan linangan air mata. Aku makin tak berdaya. Terkulai, kemudian sebagai embun terkena terik matahari aku menguap. Lenyap.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar