Sabtu, 19 Februari 2011

Cerita Mini (CerMin)

KEMATIAN ILUSI
Listrik mati. Jambi benar-benar gelap dan pekat. Di angkasa tiada terlihat seberkas cahaya memintas. Galaksi dan bintang seakan larut dalam suasana duka yang maha dalam. Terompet sangkakala baru saja melengking-lengking. Itu pertanda tangan-tangan maut baru saja melunaskan tugasnya menjemput dan merenggut nyawa insan-insan yang terlena. Ilusi mati saat matahari tergelincir dan tenggelam di pangkuan malam. Empat orang anaknya—Puisiwati, Cerpenita, Novelia, dan Draomai tak henti-henti melafazkan berzanji, zikir, dan doa dengan harapan perjalanan ibunya menuju pemukiman baru berjalan lancar.
“Ibu, malam memang kelam. Hitam dan legam. Namun, hanya di kelam malam kami punya harapan melihat seberkas cahaya. Cahaya Maha Cahaya yang sebagai tangga dapat mengantarkan perjalananmu menuju pemukiman abadi. Kudoakan semoga Tuhan berkenan memberikan lahan perumahan bagi roh cintamu, ibu.” Terdengar puisiwati melantunkan doa-doa dengan sikap khidmat, ”dari Hamzah Fansuri hingga Amir Hamzah; dari Chairil, Tardji, hingga Malna berderet mayat-mayat kata.”
 “Kuharap kiamat belum terlalu dekat, Ibu,” Cerpenita menyampaikan harapannya di ujung kaki Ilusi. “Bumi memang keras. Keras dan panas, Ibu, lantaran nurani manusia kini mulai meranggas. Kering dan gersang dipanggang api kehidupan, nyala keduniawian. Kuharap Tuhan masih berkenan memberikan ampunan bagi kami yang tinggal di dunia fana, dunia maya.”
“Berabad-abad engkau melangkah, Ibu. Melangkah di atas tanah-tanah rekah dengan nafas terengah-engah. Di raut wajahmu yang biru, kulihat engkau sering terperangah mamandang kegersangan jiwa bangsa kita yang jauh dari nilai-nilai terpuji. Novelia berjanji, Ibu, untuk meneruskan cita-citamu untuk memberikan kesejukan setiap insan dengan sentuhan nilai-nilai keindahan, nilai-nilai keimanan, nilai-nilai peradaban. Novelia mohon restumu, Ibu, untuk selalu mengingatkana “Bumi Manusia”, ‘Anak Segala Bangsa’, seperti ‘Sri Sumarah’ dan ‘Bawuk’ memandang ‘Kunanng-kunang di Manhattan’, atau seperti ‘Rafilus’ dan ‘Olenka’ ketikan barhadapan dengan ‘Para Priyayi’. Seperti sebelumnya, romo Mangun menrekronstruksi ‘Durga Umayi’, ‘Burung-burung Rantau’, atau ‘Burung-burung Manyar’.” Novelia terengah dan pasrah,”Perjalanan bangsa ini memang berat dan penat. Persoalan besar masih menghadang di ujung jalan: bumi makin sempit dan manusia terhimpit oleh aneka penyakit hipokrit. Novelia berdoa semoga Ibu dapat beristirahat di pemukiman baru.”
Draomai yang duduk suntuk di sisi Ilusi berdesah, ”Kuakui ini tragedi, Ibu. Lakon tragedi tak henti-henti. Semua ini akibat trauma bangsa ini menghadapi ketakutan demi ketakutan, kutukan demi kutukan, dan kengerian-kenyerian yang sengaja diskemakan.tragedi ini masih terus berkepanjangan. Trauma ini makin meresap di kedalaman hati insan-insan. Terus terang, aku ngeri menghadapi semua itu, Ibu.”
Demikianlah, kematian Ilusi malam itu benar-benar menciptakan suasana duka bagi keempat anak-anak yang merangkak menuju alam kedewasaan. Langit masih hitam dan legam. Suasana berkabung atas kematian Ilusi menyeruak sepanjang gang, tanah lapang dan lahan gersang. Sepi menyanyi dan menyileti bingkai-bingkai hati. Puisiwati, Cerpenita, Novelia, dan Draomai tunduk terduduk diaduk aneka pikiran berkecamuk.

Bengkel Puisi Swadaya Mandiri, Jambi Akhir 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar