Sabtu, 19 Februari 2011

Cerpen TSI Jambi:

Pulang

Cerpen Hary B Kori’un


“BAPAK masuk rumah sakit tadi malam. Stroke-nya semakin parah. Kami semua berharap kamu bisa pulang. Kami memang memerlukan bantuanmu untuk biaya rumah sakit, tetapi kehadiranmu juga sangat penting bagi bapak. Siapa tahu...”
          Hujan deras. Jalanan tertutup butir-butir air. Sepi. Hutan lebat hampir sepanjang perjalanan tadi mengingatkanku pada sebuah masa ketika aku masih berada di kampung, di sebuah lokasi transmigrasi di Rimbo Bujang, Kabupaten Tebo. Hutan lebat yang kemudian oleh keluargaku --juga keluarga-keluarga lain yang menjadi pendatang di sana— dibabat dan dijadikan ladang. Hingga lima tahun, kami masih bisa menanam padi ladang karena humus masih tebal. Tetapi tahun keenam dan selanjutnya, kami harus membeli pupuk, itupun hasilnya tak seperti yang kami harapkan. Dan kemudian, kami menjadikannya kebun karet yang hingga kini menjadi penopang hidup keluargaku.
          Sudah lama aku tak pulang ke kampung.  Kampung keduaku  tepatnya, karena keluargaku pindah dari Jawa lewat program transmigrasi. Lima belas tahun yang lalu aku meninggalkan kampung dan tak pernah pulang setelah itu. Hingga aku menyelesaikan kuliah di Padang, berpindah ke Jakarta, Palembang dan kemudian menetap di Pekanbaru, aku memang tak pernah pulang. Aku tahu jalan pulang, tahu bus mana yang akan mengantarkanku ke rumah, atau membawa mobil sendiri, tetapi aku tak melakukannya. Aku masih ingat tiga kakak yang tinggal di kampung, ibuku, juga bapak. Beberapa kali mereka datang ke Pekanbaru, kecuali bapak,  tetapi aku memang tak pernah pulang.
          Istriku selalu menyuruh aku pulang, minimal saat lebaran, namun aku tak pernah melakukannya selama lima belas tahun ini. “Tidak bagus menyimpan dendam. Tuhan mengutuk orang yang menyimpan dendam, apalagi dendam pada keluarga sendiri,” kata istriku.
          Kukatakan padanya bahwa aku tak dendam pada siapapun. Aku hanya tak ingin pulang. “Aku telah membangun hidupku di sini. Aku ingin mengubur masa lalu...”
          “Keluargamu adalah masa lalumu yang tak akan bisa pernah kamu kubur. Mereka adalah bagian dari darahmu, ada darah mereka mengalir di tubuhmu. Tak akan ada yang namanya mantan bapak, mantan ibu, mantan kakak atau mantan adik. Ke manapun kamu berada, mereka adalah bagian dari hidupmu. Sedangkan aku, istrimu ini, jika kita bercerai misalnya, maka aku akan menjadi mantan istrimu dan kita  tak punya ikatan apa-apa lagi. Sedang mereka, tidak...”
          Aku sudah melewati Teluk Kuantan dan sebentar lagi sampai ke Bukit Betabuh. Hujan masih deras dan jalanan basah.  Ketika mendapat sms dari Mas Handoko bahwa bapak sakit, aku tak banyak bereaksi dan seperti sebelum-sebelumnya, Mas Handoko juga selalu bilang begitu setiap bapak masuk rumah sakit. Namun istriku mengingatkan bahwa umur bapak sudah sangat sepuh, sudah lebih 76 tahun. “Pulanglah. Jika kamu tak mau membawa aku dan Abimanyu pulang, pulanglah sendiri. Mungkin bapak memang ingin bertemu denganmu. Aku menikahimu karena aku mencintaimu dengan segala yang ada padamu. Aku juga mencintai seburuk apa masa lalumu...”
          Berkali-kali istriku mendesak agar aku pulang. Bahkan dia sampai menangis ketika aku tetap diam tanpa reaksi. “Aku tak pernah berpikir untuk menjadi pemisah hubunganmu dengan keluargamu. Ayolah, pulanglah, siapa tahu...”
          “Siapa tahu ini kesempatan terakhirku ketemu bapak? Dulu Mas Handoko juga mengatakan begitu, tetapi bapak juga tetap hidup dan panjang umur...”
          Aku memang akhirnya berangkat dan menyetir mobil sendiri. Abimanyu dan istriku tak ikut, aku sengaja tak mengizinkan mereka ikut. Aku tak tahu, setiap yang berhubungan dengan masa lalu dan keluargaku, aku selalu mencoba menjauhkan dari orang-orang, juga anak dan istriku. Tapi kini, ketika mobilku sudah masuk perbukitan dengan jalan berkelok, tikungan tajam, turunan curam dan hujan yang tak pernah berhenti, aku merasakan gelisah yang luar biasa.
          Tiba-tiba aku rindu bapak, juga saudara-saudara yang lain. Mungkin bapak benar-benar sudah sepuh, berbeda dengan lima belas tahun yang lalu, atau masa sebelumnya ketika dia masih kuat, baik fisiknya maupun suaranya yang menggelegar dan sering membuat aku mati ketakutan dan bersembunyi di kolong tempat tidur atau di kandang ayam...
                                                ***
AKU ingat persis ketika itu. Di sebuah sore yang hujan lebat dengan petir menyambar, aku ketakutan di dalam rumah. Bapak, ibu dan tiga kakakku berada di ladang. Aku disuruh menjaga rumah, juga  menunggui  gabah yang dikeringkan. Namun, ketika tiba-tiba hujan lebat, aku menjadi ketakutan. Aku memang takut petir. Dan aku meringkuk di tempat tidur sambil menutup kepala dengan bantal ketika petir itu menyambar-nyambar.
Bapak, ibu dan ketiga kakakku pulang ketika hari hampir gelap dan hujan sudah berhenti. Ketika aku belum menyadari sepenuhnya apa yang terjadi, tiba-tiba bapak sudah datang dengan sapu lidi di tangannya. “Anak setan! Tugasmu di rumah adalah menjaga gabah supaya tidak kehujanan. Lihatlah!” katanya sambil menyeret tubuhku yang kurus dan ringkih keluar rumah, dan aku melihat gabah yang dikeringkan kini sudah tak berbentuk lagi. Banyak yang dibawa aliran air. Aku menangis sejadi-jadinya dan minta ampun. Ketiga kakakku tak berani menolong, juga ibuku. Aku menggapai-gapai meminta tolong, tetapi bapak memang tak bisa dibantah siapapun dan aku diseret ke halaman. Beberapa saat kemudian tubuhku lebam-lebam karena pukulan sapu lidi dan raunganku tak berarti apa-apa karena memang tak ada yang berani menolongku.
Tidak sampai di situ, ketika hari sudah benar-benar gelap, bapak memerintahku agar mengangkat buah-buah pepaya yang pohonnya tumbang akibat angin dan hujan tadi. Pohon pepaya itu buahnya memang banyak dan segar-segar, dan mungkin karena kebanyakan buah itulah saat angin datang gampang tumbang. “Angkat buah-buah itu, bawa ke dapur!” suaranya terdengar menggelegar.
Dengan sisa tenagaku, aku berjalan menuju pohon pepaya yang tumbang itu, sekitar lima puluh meter dari rumah.  Satu-satu aku mengangkat pepaya itu dan lama-lama getahnya membuat gatal di tubuhku. Mungkin juga akibat luka memar karena pukulan sapu lidi bapak itu, dan terkena getah kental berwarna putih itu. Aku menangis sepanjang pekerjaan itu dan ketika ibuku akan membantuku, bapak membentaknya. “Biarkan! Biarkan dia merasakan beratnya perjuangan untuk hidup! Ini hukuman, kita yang di ladang bekerja, tetapi dia malah melalaikan tugasnya menjaga gabah. Kita harus banting tulang untuk menanam padi, dan dia tinggal menjaga saja malah lalai!”
Ibuku pun surut dan hanya memandangku dari dalam rumah dengan tangisnya. “Dia masih kecil,” katanya.
“Dari kecil dia harus tahu sulitnya hidup!”
Aku benar-benar tak tahan dengan gatal di tubuhku dan memohon kepada bapak agar boleh istirahat. Namun bapak memang tak boleh ditawar. Hingga kemudian aku  benar-benar tak memiliki tenaga lagi dan seluruh badanku terasa gatal, sakit dan aku tak ingat apa-apa lagi. Mungkin tengah malam, aku terbangun dan melihat ibuku memelukku sambil menangis. Ketiga kakakku juga di kamar, tetapi aku tak melihat bapak. Suhu badanku tinggi dan aku benar-benar merasa tak kuat menahan rasa sakit dan gatal di kulit.
Aku selalu ingat peristiwa itu, juga peristiwa-peristiwa lainnya yang kemudian memunculkan kesimpulan dalam pikiranku, bahwa bapak tidak menyukaiku, tidak menginginkan kelahiran dan keberadaanku. Aku merasakan perbedaan bagaimana dia memperlakukan ketiga kakakku. Tapi aku berusaha membuang jauh-jauh perasaan iri itu, yang ada dalam pikiranku –dan ternyata itu tertanam dalam jiwaku hingga aku dewasa—adalah bahwa bapak memang tidak menyukaiku.
***
HUJAN tetap deras dan air mengalir di jalanan. Sepi, tidak banyak mobil yang datang dari arah berlawanan dan Lintas Sumatera seperti jalan hantu. Hantu di musim hujan, hitam, lengang dan aku semakin merasa bahwa perjalananku bukan semakin dekat, tetapi justru semakin jauh. Padahal, dari Koto Baru ini, tinggal dua jam lagi akan sampai ke rumah. Sampai ke rumah yang pernah menjadi kenangan masa kecilku yang sekian waktu berusaha kukubur.
“Kenapa bapak tidak suka dengan saya, Bu?” tanyaku suatu saat kepada ibuku.
“Dia mencintaimu, juga kakak-kakakmu. Tetapi seperti itulah caranya mencintai, suatu saat nanti kalau kamu besar, kamu akan tahu bahwa dia begitu mencintai kita...” Ibuku berkata begitu sambil berjalan menuju dapur. Aku tahu dia menangis.
Ketika kembali lagi ke tempat tidurku dengan segelas air putih, aku melihat matanya sembab. “Begitukah cara laki-laki mencintai, Bu?” tanyaku lagi.
Ibuku mengangguk. “Iya, itu cara bapakmu mencintai. Tidak semua laki-laki begitu cara mencintai...”
Aku sakit berhari-hari sejak peristiwa itu. Badanku lemas, mulut dan perutku tak enak diisi makanan dan aku selalu kehausan. Tapi bapak tak pernah melihatku ke kamar, juga tak pernah menyuruh kakak-kakakku membawaku ke mantri kesehatan atau dokter di  Puskesmas. Aku hanya minum pil malaria dan beberapa jenis pil penghilang demam lainnya.
Hampir lima hari, dan akhirnya aku juga sembuh. Tetapi sejak itu aku menjadi ketakutan setiap melihat bapak dan sebisa mungkin menghindarinya. Ketika malam hari tiba, aku menjadi risau, bagaimana nanti kalau ketemu dengan bapak. Untungnya, sering teman-teman mengajakku pergi mengaji ke langgar dan kami ramai-ramai tidur di langgar tidak jauh dari rumah. Paginya aku pulang, mandi dan langsung pergi ke sekolah. Ketika aku pulang pagi itu, bapak sudah pergi ke ladang, sehingga aku tak sempat bertemu dengannya. Ketika pulang sekolah siang hari, aku juga sebisa mungkin menghindarinya. Biasanya ketika aku sampai di rumah, bapak sedang tidur siang. Dan sebelum bapak bangun, aku cepat-cepat makan lalu pergi ke sungai memancing ikan atau membantu membersihkan semak di sela pohon karet yang masih muda. Sore ketika sampai di rumah aku cepat mandi dan langsung pergi ke langgar.
Hingga kemudian aku tamat SMP, hal seperti itu selalu kulakukan. Meski memang masih sering dia memarahiku dan memukul atau bahkan menyiksa karena alasan-alasan yang bagiku kesalahanku tidak seberat hukumanku. Aku berusaha untuk tidak dendam dengan itu semua, tetapi lama-lama aku merasa bahwa semuanya tidak adil bagiku. Kesalahan sekecil apapun selalu menghasilkan hukuman bagiku, sementara tidak bagi kakak-kakakku.
“Bapak memang tidak menyukai saya, Bu...” kataku ketika kemudian aku tamat SMA dan ingin pergi dari rumah.
“Kamu mau pergi ke mana?”
“Saya ingin bekerja ke kota, Bu. Siapa tahu saya bisa bekerja dan sekolah lagi...”
Bapak tidak mencegahku ketika aku pergi tanpa pamit padanya meskipun dia ada di ruang tamu ketika aku membawa tas kecil berisi beberapa helai pakaian dan ijazahku. Ketiga kakakku juga tak bisa menahanku.  Mas Handoko sudah menikah, juga Mbak Harmini. Keduanya sudah tinggal di rumah sendiri, tidak jauh dari rumah. Hanya Mas Budi yang masih tinggal di rumah. Kami berdualah yang membantu di kebun karet. Mas Budi selalu mengatakan bahwa hidup harus diteruskan, dan tak perlu mencari tahu mengapa seseorang begitu marah dan kadang seperti membenci kita. “Tak perlu kita membenci bapak. Kehidupan kerasnya di masa lalu membentuk jiwanya seperti itu,” kata Mas Budi beberapa kali ketika kami istirahat sehabis menakik getah atau mengangkutnya sampai di rumah.
Aku tidak menjawabnya, tetapi aku selalu mengatakan kepadanya bahwa aku ingin kuliah. Aku tidak mengatakan itu kepada bapak, tetapi aku tahu bapak tahu keinginanku itu. Namun hingga aku membawa tas dan pamit kepada ibu akan pergi ke kota, bapak tidak bicara sepatah katapun kepadaku.
Aku keluar pintu dan tak menoleh lagi meski aku tahu ibu menangis. Sejak itu, aku tak pernah kembali ke rumah tetapi mereka selalu tahu di mana aku berada selama lima belas tahun ini...
***

AKU tak tahu, mengapa sepanjang perjalanan hujan tidak mau berhenti. Setengah jam lagi aku akan sampai ke rumah dan aku melihat banyak yang berubah sepanjang perjalanan menuju rumah. Dulu, lima belas tahun yang lalu, tak ada instalasi listrik di sepanjang jalan, jalan belum diaspal dan tak banyak orang yang punya mobil. Kini, banyak rumah bagus berdiri, mobil lalu-lalang dari dan menuju kota kecamatan, dan jaringan telepon seluler juga sudah ada di sini.
Namun hujan benar-benar tidak mau berhenti, dan aku menghentikan mobil, menepi ke sebuah warung kecil tidak jauh dari simpang yang jaraknya sekitar tujuh kilometer lagi dari rumah, ketika mendengar ada nada pesan pendek di ponselku. “Kami tahu,  mungkin memang berat bagimu untuk pulang. Tetapi bapak selalu berharap suatu saat kamu mau pulang ke rumah, karena ini juga rumahmu...”
Ketika hanya beberapa menit lagi akan sampai ke rumah, tiba-tiba petir menyambar dengan keras dan aku terkejut. Peganganku pada stir nyaris terlepas dan mobil oleng ke kanan, keluar dari aspal. Aku berhenti dan kembali melihat ada pesan pendek di ponselku. “Bapak tidak sempat menunggumu untuk pulang. Kami semua sudah merelakannya dan kami berharap kamu mau memaafkannya. Kata bapak, kamu tetap anaknya, tidak seperti yang selalu ada dalam pikirannya sejak kamu lahir karena kecemburuannya pada seorang laki-laki lain yang pernah mencintai ibu kita. Bapak bilang, kamu anak terbaik dan dia bangga dengan apa yang kamu dapatkan selama ini. Relakan dan maafkan bapak...”
Seakan ada yang lepas dari tubuhku. Badanku terasa ringan seperti kapas, mataku berair, hatiku pedih... hanya beberapa menit lagi, mengapa bapak tidak mau menungguku? Hanya beberapa menit lagi, tidak lebih dari satu kilometer lagi. Tidak lebih. Tetapi jarak dan waktu itu seperti bentangan lima belas tahun lamanya.***

Pekanbaru, 23 Februari 2006


Tentang Penulis

Hary B Kori’un adalah alumni Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Andalas (Unand) Padang. Lahir di Pati (Jawa Tengah), besar di sebuah lokasi perkebunan di Rimbo Bujang (Jambi) hingga menamatkan SMA di sana dan kemudian kuliah sambil belajar menulis di Padang. Novelnya, Nyanyi Sunyi dari Indragiri (Gurindam Press Pekanbaru, Desember 2004) terpilih sebagai novel terbaik Riau 2004 dalam Lomba Menulis Novel Yayasan Bandar Raja Ali Haji Pekanbaru dan memperoleh “Ganti Award I 2004”. Novel lainnya,  Nyanyian Batanghari (Akar Budaya Yogyakarta, Agustus 2005)  pernah menjadi cerita bersambung di Harian Republika (Januari-Maret 2000).  Novel Jejak Hujan (Grasindo Jakarta, 2005)  masuk nominasi 10 Besar Lomba Menulis Novel Radio Belanda kerjasama dengan Penerbit Grasindo. Novel lainnya, Malam, Hujan (Gurindam Press Pekanbaru, Juni 2006) menjadi 1 dari 5  nominasi “Ganti Award II 2005”.  Novel lainnya, Mandiangin (Gurindam Press Pekanbaru 2008)  juga menjadi 1 dari 5  nominasi “Ganti Award III 2007”. Selain menulis novel juga menulis cerpen yang dimuat di beberapa media seperti Sinar Pagi, Mutiara, Singgalang, Haluan, Sriwijaya Post, Lampung Post,  Riau Pos, Pekanbaru Pos, Riau Mandiri, Suara Riau, dan beberapa media lainnya. Beberapa cerpen dan tulisan lainnya juga masuk dalam beberapa buku antologi seperti Kaba dalam Kaba (Yayasan Taraju Padang, 1994), Anugerah Sagang 2000 (Yayasan Sagang Pekanbaru, 2000), Magi dari Timur (Yayasan Sagang Pekanbaru, 2003), Yang Dibalut Lumut (CWI Jakarta, 2003), Mencintaimu (Logung Pustaka Yogyakarta, 2004), Seikat Dongeng Tentang Wanita (Yayasan Sagang Pekanbaru, 2004), Satu Abad Cerpen Riau (Yayasan Sagang, 2004), Tafsir Luka (Yayasan Sagang, 2005), Jalan Pulang (Yayasan Sagang, 2006),  Keranda Jenazah Ayah (Yayasan Sagang 2007), Komposisi Sunyi (Yayasan Sagang, 2007) dan Krisis Sastra Riau (Yayasan Sagang, 2007). Mendapatkan penghargaan dari Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) sebagai nominator Cerpen Terbaik Indonesia 1998.  Menulis buku tentang sejarah sepakbola, yakni Kerbau Merah dari Indarung: Semen Padang di Lintas Sepakbola Indonesia  (PT Semen Padang, 2002). Saat ini bekerja sebagai wartawan di Harian Riau Pos, Pekanbaru, dan editor buku-buku terbitan Yayasan Sagang.

Alamat:
Rumah: Jl. Sidomakmur Gg. Arafah No. 1 Arengka Atas, Kelurahan Maharatu Kecamatan Marpoyan Damai,  Pekanbaru-Riau
Kantor: Harian Riau Pos, Jl Soebrantas KM 10,5 Pekanbaru-Riau
E-mail: habeka33@yahoo.com




Tidak ada komentar:

Posting Komentar