Jumat, 25 Februari 2011

DI UJUNG SENJA

Kado Cerpen untuk Ultah DAM dari Rd M Maskur (Peserta Penulisan Kreatif)

DI UJUNG SENJA

Mataku yang cekung menatap tetesan-tetesan cairan glukosa di dalam tabung infus yang menggantung di atas kepalaku. Kusadari betapa lemahnya aku sekarang. Lemah, lemah seperti lidi yang rapuh. Tak lagi aku kuasa mengunyah makanan sendiri seperti sedia kala. Aku bertahan hanya dengan cairan glukosa itu. Sungguh aku sudah benar-benar berada di titik nadir lemahku. Sering sekali aku bertanya mungkinkah ini akhir lembar kisah hidupku? Berapa kali lagi aku diizinkan menarik dan menghembuskan nafas di bumi ini? Berapa kali lagi mataku diizinkan untuk mengerdip dan berapa kali lagi jantungku diizinkan berdegup?

Kalau kupikirkan pertanyaan-pertanyaan itu terasa begitu sedih hatiku. Sedih, sedih tak terbendung seperti air bah zaman Nabi Nuh yang mengalir yang tak bisa ditahan oleh telapak tangan raksasa sekalipun, ia akan menenggelamkan segalanya, segala perasaanku dalam lautan kesedihan. Belakangan ini, selama dua hari terakhir. Semenjak penyakitku bertambah parah. Aku yang ringkih ini selalu saja terkenang bayang-bayang kenangan masa lalu tentang ayah dan ibuku yang telah lama berpulang ke pelukan-Nya.

Teringat aku ketika menangis di pangkuan ibuku dulu, ketika itu dibelai-belainya rambutku agar aku diam dan tersenyum kembali. Teringat ketika aku berhasil membawa rapor dengan rangking satu bertapa girangnya aku dibawa ayah pergi ke pasar menuruti semua kehendak nafsu anak kecilku. Aku selalu termimpi-mimpi masa ketika aku kanak-kanak ketika aku suka sekali bermain kelereng, terjun ke sungai, membelah semak untuk mencari anak burung dan menggoda teman-teman yang perempuan bersama teman-teman karibku yang pada nakal-nakal karena mereka memang dalam masa nakal, masa kebanyakan kanak-kanak laki-laki yang hobi bertualang. Tetes air mataku bila terkenang semua itu.

Dua bulan sudah aku terbaring di sini, di rumah sakit Raden Mattaher, di ruang penyakit dalam. Dua bulan yang lalu dengan berbekal kartu askeskin aku dibawa kemari untuk dirawat seadanya. Di dalam ruangan penyakit dalam, di kamar nomor 3 ini ada enam ranjang, masing-masing terisi penuh oleh manusia-masusia yang sakit. Bermacam-macam penyakitnya, ada yang terkena penyakit tumor, penyakit uzur karena sudah tua, kena malaria, bahkan yang terkena penyakit kanker prostat juga ada di situ.

Terasa amat perihlah hatiku bila berkumpul dengan mereka. Terasa benar kalau aku ini sedang sakit, berpenyakitan, tak berguna lagi, hanya menjadi beban orang lain. Sedih hatiku. Tubuhku tak lagi segagah dulu. Kini aku hanya tulang berbungkus kulit yang digerogoti penyakit tbc dan diabetes yang menyiksaku seumur hidupku semenjak aku tamat SMA beberapa tahun lalu.

***

Di ujung senja ini, selalu saja aku rasakan damai seperti bayi yang dibuai ibu di dalam ayunan kain yang digantung di ruang tengah rumah yang tenang. Aku belakangan ini sangat suka dengan warna putih. Warna putih begitu sejuk di mataku. Warna kain alas tempat tidurku yang putih terasa begitu lembut di mata. Putih suci. Aku terbaring di dekat jendela yang menghadap ke luar sehingga nampak di mataku ketika matahari yang mulai bersembunyi ketika magrib tiba. Sungguh aku sangat menyukai senja dan aku bersedih bila ia pergi ditelan malam.

Sayu mataku menatap langit-langit kamar ruangan penyakit dalam nomor 3 ini. Kulihat warnanya putih, suci. Hatiku jadi tenang menatap warna itu sebab akhir-akhir ini aku amat menukainya. Sanak kerabat bergantian mengunjungiku di ruangan yang penuh sesak dengan orang-orang sakit ini. Bila kulihat wajah mereka memandangku dengan iba, aku sebisa mungkin tersenyum menahan perasaanku yang terasa begitu sedih. Tak ingin kuperlihatkan kepada mereka bahwa aku ini sedang berada di lembah kesedihan, di ujung senja yang sendu.

Aku tahu kalau hati mereka merasa iba kepadaku. Tak ingin aku menambah-nambah keibaan dan kegetiran di hati mereka bila melihatku yang ringkih ini menangis sedih. Apa? Aku seorang idealis. Ya, memang aku seorang idealis. Seorang idealis yang tak mau memperlihatkan sedih di mata siapa pun, siapa pun. Kecuali kepada-Nya, aku tak bisa berbohong kalau aku tengah bersedih. Cukuplah Yang Maha Melihat itu yang menyaksikan derai air mataku jatuh berderai ke dalam hati dan menciptakan samudra airmata yang sendu.

***

Aku dapat merasakan itu. Dapat kurasakan aroma tubuh Izrail yang kian mendekatiku. Aku tidak lama lagi di kolom ruang fana ini. Pernah suatu malam aku bermimpi tentang sebongkah tanah berbentuk manusia yang mengajakku berbicara. Suara itu "Aku telah lama menunggumu, kemana saja kau?" Aku hanya diam tak menjawab. "Jawab pertanyaanku!" Suara itu sedikit membentak.
"Siapa kau?"
"Kau lupa padaku? Dariku kau diciptakan. Akulah tanah".

Begitulah, percakapan yang selalu terngiang di telingaku semenjak mimpi itu kerap hadir dalam tidurku. Dan semakin percaya aku tak lama lagi jantungku akan berhenti berdetak, mataku akan berhenti berkedip dan paru-paruku tak akan lagi menarik nafas. Aku akan mati. Tanah sudah rindu padaku. Dan mataku kini telah akrab dengan warna putih. Dan kain alas tempatku berbaring ini seputih kain kafan.

Berkali-kali sosok tanah itu hadir dalam mimpiku membentangkan tangan dengan wujudnya berbentuk manusia, seperti hendak memelukku dan mencumbuku habis-habisan, hendak melumatku dalam peluk birahinya, seperti seorang kekasih yang telah amat rindu ingin mencumbu kekasihnya yang selama ini menghilang dari dekapnya.


Jambi, 18 Juni 2010

1 komentar: