Jumat, 25 Februari 2011

LINDUNG YANG TAK SEMPAT MENEGUK BATANGHARI


Cerpen  Hasan Al Banna

Udara hotel membekukan napas Lindung. Ia sejatinya benci gigitan udara dingin. Tapi paling tidak, ia kini lebih leluasa menanggalkan kepenatan yang membungkus tubuhnya selama puluhan jam. Ya, perjalanan darat dari Medan ke kota Jambi benar-benar menyiksanya. Di dalam bis yang sesak, umpatan Lindung melitakkan hatinya sendiri. Tak pernah aku bayangkan jika siput uzur yang mengantarkanku ke kota ini
Maka, ups, mandi adalah hal ingin ia nikmati segera. Berendam di bath up! Ya, sebuah kamar di lantai empat telah menunggunya. Namun, air hangat tak sebenar mampu menyembuhkan kelelahan. Hanya saja, selepas membersihkan badan, ia merasakan sesuatu meliuk di perut. Lindung merasa tidak lapar. Tapi perut kosong bakal mudah menagih angin, lantas akan mendenyutkan gigi gerahamnya yang berlubang. Maka ia meraih gagang telepon, memesan nasi goreng spesial dan jus jeruk melalui resepsionis. Sambil menunggu, ia menyalakan televisi. Namun, Lindung cuma menyaksikan wajah istrinya di situ, kendati remote di tangannya berkali-kali mengganti chanel.
Entahlah. Sesal baginya serupa penyiksaan dalam yang wujud lain. Jujur, ia masih mencintai Shinta. Pun sebaliknya, ia percaya, Shinta tak pernah surut merajut selimut kasih-sayang untuknya. Lantas, mengapa ia tak butuh banyak pertimbangan untuk menerima tugas dinas ke Jambi? Tiada lain demi keinginan Lindung untuk rehat sejenak dari percekcokan. Padahal, dengan posisi jabatan yang lumayan berpengaruh, mudah baginya menolak, atau melimpahkan kepada yang lain. Tapi hal itu tidak ia lakukan. Mana tahu keadaan membaik dengan menghindar beberapa saat, pikirnya. Tapi sumpah, niat untuk kabur dari pertengkaran tidak semulus perkiraan. Lindung kini malah sibuk berkelahi dengan hatinya sendiri, bahkan jauh lebih sengit!
Ponselnya mengerjap, mengirimkan sebuah pesan dari Shinta. Adakah kekasihku melihat bintang malam ini? Bertaburan di langit, dihiasi cahaya bulan sabit. Mmh, istrinya tak juga kehilangan selera romantisnya. Ia merasa, pertengkaran mereka belakangan ini tak lebih dari luapan perasaan yang sedang keruh. Buktinya, sejak meninggalkan Medan, sudah beberapa kali Shinta mengirim pesan-pesan manis. Namun malam ini, Lindung sedikitpun tak berhasrat membalas. Ia cuma ingin membunuh insomnia yang kerap mengganggunya akhir-akhir ini!
Denting bel kamar telah mengirim hidangan ke hadapan Lindung. Tapi ia malah merebahkan diri di atas springbed. Ah, langit-langit kamar mengelebatkan peristiwa-peristiwa pertengkarannya dengan Shinta. Diam-diam ia mengaku bersalah. Puncak kekacauan bermula dari pertemuan—tanpa sengaja—Lindung dengan mantan pacarnya, Mutiara. Lantas, pertemuan berlanjut ke meja makan. Seterusnya, keluhan-keluhan tentang kondisi rumah tangganya pun bergulir begitu saja. Tak cukup sekali. Janji bersua dirancang ulang, dan ditunaikan berkali-kali. Sampai akhirnya terendus Shinta.
Usia pernikahan Lindung-Shinta baru empat tahun. Masih penuh gula. Tapi itu tak menjamin bahtera rumah tangga jauh dari badai masalah. Kekuatan cinta sepasang suami-istri rupanya begitu mudah porak oleh sebuah kenyataan: buah hati belum juga meriuhkan rumah! Keluarga besar Lindung, yang tak merestui pernikahan mereka turut memperkeruh alur persoalan. Cibiran menggelinding, Itulah kalau tak dengar nasihat orangtua. Tengoklah, hingga kini kalian belum juga menghadiahkan cucu pada kami, meskipun itu hanya orok. Kualat! Mmh, Lindung kehilangan tenaga untuk membantah. Kita ini orang Batak, Lindung. Tak ada anak berarti aib. Masih banyak perempuan yang subur...
Sungguh, menceraikan istrinya dengan alasan tak mampu memberikan keturunan, dan dalam umur pernikahan yang masih belia, bukan pilihan yang bijaksana. Apalagi menurut dokter, mereka berdua sehat-sehat saja. Tapi, kian hari Lindung kian terseret ke sudut yang pitam. Amarah pun mudah pecah. Tak jarang, hanya gara-gara mendapati Shinta datang bulan, sudah cukup untuk menyulut pertengkaran panjang. Konyol? Tapi, yah, begitulah…
Shinta pun tak lebih baik kondisi batinnya ketimbang Lindung. Semuanya menjadi kacau! Dalam keadaan jiwa yang tertekan, segala tindak-tanduk dan ucapan Lindung—juga keluarga suaminya—senantiasa meninggalkan goresan luka. Apalagi setelah pengakuan Lindung tentang pertemuan-pertemuan rahasianya dengan Mutiara, Shinta kalap hati. Untuk urusan ini, madu bagiku racun. Ceraikan aku! Kata-kata yang menyengat itu melecut dada Lindung. Aku tak ingin cerai. Aku masih mencintaimu! Lindung membela diri. Memang, tak ada secuil pun rencananya untuk memutus simpul pernikahan. Bahkan untuk selingkuh pun tidak! Ia cuma butuh teman cerita. Tapi akhirnya ia paham, seharusnya bukan Mutiara orang yang dipilih untuk menampung perasan keluh-kesahnya.
Tapi sikap dan kelakuanmu berkata seperti itu! Shinta bertambah berang. Lindung bungkam. Membela diri baginya hanya memanjangkan usia percekcokan. Maka, ketika perintah dinas lima hari ke Jambi mengetuk meja kerjanya, ia langsung mengangguk. Tapi lagi-lagi, pertengkaran sudah siap pula menyambut. Agaknya, sikap diam yang mereka pilih di sela sengketa kata-kata, hanya untuk menyiapkan kekuatan baru untuk beradu mulut lagi.
Pergilah! Kau sudah buat janji yang lebih rapi dengan perempuan jalang itu kan?
Heh, jangan gampang menuduh! Jaga mulutmu, Shinta! Amarah Lindung mendesakkan kalimat yang tak kalah pedas. Kasar! Telapak tangannya mengokang ayunan, membidik wajah Shinta.
Ayo, tampar aku! Tampar! Kau pun sama jalangnya dengan perempuan itu. Pandai kau membelanya, ya? Lalu, tangis pun rubuh lebih deras dari guyuran hujan yang menggedor malam.
Lindung kembali bungkam. Menahan diri, tepatnya. Ayunan tangannya surut. Senyap. Hujan mengendap. Angin padam. Lantas, mereka berdua pun tidur saling memunggungi. Kamar mendadak pasi. Keesokan harinya, selain kebisuan, lelehan air mata Shinta turut melepas keberangkatan Lindung.
¤ ¤ ¤
Sebenarnya pekerjaan Lindung sudah rampung sebelum waktunya. Tapi ia tak hendak memajukan jadwal kepulangan. Kendati, demi Tuhan, Lindung tak menampik jika kerinduan terhadap istri sering menyergap. Tadi malam, istrinya berkabar lewat pesan singkat. Medan hujan. Udara dingin. Ingin aku berselimut di tubuhmu. Merebahkan tubuh di dadamu. Menikmati belaianmu. Menghirup aroma napasmu. Tapi kau jauh, kekasih. Ah! Jambi pun sedang bergelimang hujan. Namun, ranjang dan selimut hotel bukanlah Shinta… Maka, demi mematuhi rencana kepulangan, ia setuju menyanggupi tawaran Pak Saimin, rekan kerja selama di Jambi untuk berkeliling-keliling kota. Kebetulan, selama dinas, ia hampir tak ada waktu untuk berjalan-jalan. Pulang ke hotel menjelang tengah malam, ia sudah lelah. Paling Lindung keluar untuk mencari makanan. Menu hotel acap tak berjodoh dengan lidahnya. Bah, bangunan mewah tak selalu memanjakan selera. Sebuah warung nasi kusam di samping hotel lebih paham kemauan perutnya. Pun ia lebih sering menghabiskan segelas kopi di warung itu. Lagi pula, antrean panjang kendaraan yang memburu BBM sampai dini hari melumpuhkan hasratnya untuk memutari kota itu.
Nah, kini saya bawa kamu naik kapal pesiar. He he. Saya sengaja menyewanya untuk kita berdua, ajak Pak Sarimin setelah beberapa jam menyusuri jalanan kota Jambi. Lantas, mereka pun sudah berada di haribaan Batanghari, bersamaan dengan dering panjang pesan di ponselnya. Aku teringat ketika kita menikah. Waktu kau ucapkan janji ikatan, aku berdebar. Aku adalah milikmu dan kau adalah milikku. Sudah makan siang, kekasihku?Sudah. Aku kini di atas perahu ketek. Menjelajahi Batanghari. Oya, besok aku pulang. Mau oleh-oleh apa? Lindung tak juga bisa menanggalkan wajah istrinya dari angan. Sumpah, entah kenapa ia ingin segera pulang. Tentu dengan hati yang damai. Pun begitu pula harapannya terhadap Shinta. Seandainya saat ini bersamamu, aku ingin menjadi matahari bagi Batanghari. Tapi aku tak mau menjadi duri. Aku rindu! Shinta menyambung pesan. Lindung menimba napas ke dada yang pedas. Mau oleh-oleh apa? Ia mengulang penggalan pertanyaannya.
Bawakan aku kisah tentang Batanghari. He he. Istrinya membalas dengan sebaris canda. Tapi Lindung sedang tak tergiur berseloroh, meskipun permintaan itu cukup menyita pikirannya. Lindung memalingkan muka ke sekeliling. Di tepian Batanghari, bangkai-bangkai perahu tergolek. Tak obah tulang-tulang yang berantakan. Para penambang pasir bertubuh legam sibuk mengeruk jantung Batanghari. Mmh, cuma mengenakan celana dalam para pekerja itu. Dari arah berlawanan, speedboat melintas dengan suara mesin yang menyayat telinga. Perahu ketek yang melaju lamban, terayun-ayun oleh riak sungai. Suara klotak-klotak mesinnya timbul-tenggelam.
Medan hujan lagi. Aku gigil dalam kerinduan. Shinta kembali menyapa. Sedang sorot mata Lindung menikam Batanghari. Ia hendak menagih janin cerita untuk Shinta. Tapi, mendadak ia terperanjat. Batanghari seketika berombak. Apa ini? Perahu ketek berpapasan dengan sebuah kapal tongkang. Ia berpegangan lama. Pak Sarimin tersenyum. Dalam kecemasan, Lindung terkenang Shinta.
Ah, kisah apa yang bisa aku kemas untukmu?
¤ ¤ ¤
Perempuan itu bernama Batanghari. Tubuhnya elok, semampai. Ia memiliki mata yang jernih. Napasnya wangi. Batanghari begitu mencintai seorang lelaki, sebuah perahu gagah yang ia tempa dari selengkung tulang rusuknya.
Izinkah aku menempuh keluasan samudera, wahai gadisku, Batanghari, kata sang perahu suatu hari.
Apa maksud kata-katamu itu?
Tak ada maksud apa-apa.
Engkau jenuh bersamaku?
Tidak. Kadang, kekokohan cinta harus diuji dengan sebuah kepergian.
Begitukah?
Ya!
Berhari-hari Batanghari menimbang-nimbang permintaan kekasihnya. Alhasil, meski dengan berat hati, Batanghari pun luluh juga untuk melepas sang kekasih.
Baik. Pergilah, tapi jangan kau tak kembali! Jangan kau biarkan sungai yang lebih elok menawan hatimu!
O, percayalah, Batanghari gadisku. Aku akan kembali dengan cinta yang lebih gemilang. Sepulang mengelana, aku pinang kau!
Tugu janji pun telah dipahat. Batanghari tersenyum, terharu. Ia menyerahkan tubuhnya ke dada perahu yang padat, sang kekasih bertubuh hangat. Maka pada sebuah hari yang ditumpahi hujan, Batanghari melepas kekasihnya ke samudera luas. Derai air mata, dan debar dada bertakhta di dadanya.
Namun, abad demi abad berlalu, kekasihnya tak kunjung menepati janji. Maka telah berabad-abad pula perempuan itu menangis. Tak terhitung jumlah perahu yang tergolek, dan tak tertafsir perahu yang lahir, kekasihnya tak pernah berkabar. Kini, tubuhnya menyusut, masam. Kedua matanya kian keruh, kian jauh...
¤ ¤ ¤
Jangan pusing-pusing. Ceritakan saja itu kepada istri kamu, bisik Pak Sarimin sembari terkekeh usai memenuhi permintaan Lindung untuk bercerita tentang Batanghari. Lindung tak mengangguk, tak pula menggeleng. Entahlah. Selama dalam perjalanan menuruti arus Batanghari, guraun Pak Saimin dianggap angin lalu. Tak enak hati juga ia kepada Pak Sarimin. Tapi agaknya, Pak Sarimin tak terpengaruh. Lelaki setengah baya itu terus saja berceloteh.
Kini, perahu ketek sudah berbalik arah, menentang arus Batanghari. Lindung setengah menengadah. Cuaca menggambar mendung di langit. Kepak angin mengirimkan gerimis. Sedangkan Shinta kembali mengirim pesan. Hujan telah pergi. Langit cerah. Bias matahari merangkai pelangi. Iringan awan menyatu melukis wajahmu yang tampan. Pada pelangi aku menuliskan harapan. Untuk cinta dan kebahagiaan.
Lindung terombang-ambing dalam tegun. Ia masih sedang berupaya keras merancang kisah tentang Batanghari. Cerita aneh dari Pak Sarimin biarlah tersimpan dalam kepalanya saja. Ia khawatir, Shinta malah menyahut oleh-oleh tersebut dengan sindiran, Di manapun lelaki sama saja, pengkhianat!
Ah, Lindung penat. Bahunya ditepis-tepis gerimis. Angin menggoyang perahu ketek. Sekelebat ia raih riak-riak Batanghari, lantas ia percikkan ke wajahnya. Hati-hati! Konon, kalau kamu minum air Batanghari ini, bakal lupa kamu jalan pulang. Menjadi betah kamu di sini. Ha, tapi, kalau kamu berniat mencari istri simpanan di kota ini, minumlah air Batanghari barang seteguk. Berani? Ha ha ha. Baris gigi Pak Saimin yang tak lengkap pun terlihat jelas. Kali ini Lindung tertawa. Tapi hanya untuk menghargai lawan bicara.
Diam-diam, ia bersyukur tak sempat meneguk Batanghari. Tapi, andai pun ia mereguk habis Batanghari, ia yakin bakal tak buta jalan pulang. Jalan menuju kekasihnya, istri yang masih dicintainya!
Shinta, semoga kau suka nenas goreng khas Jambi...

Jambi-Medan, 2008


Hasan Al Banna. Menetap di Medan bersama istrinya, Dewi Haritsyah Pohan, dan seorang putri, Embun Segar Firdaus. Lahir di Padangsidimpuan, 3 Desember 1978. Menyelesaikan SD, MTsN, dan MAN 1 di Padangsidimpuan serta menyelesaikan Program S1 Bahasa dan Sastra Indonesia FBS—Universitas Negeri Medan (Unimed). Sejak tahun 2005 bekerja di Balai Bahasa Medan, Depdiknas. Sejumlah karyanya selain dipublikasikan di berbagai media massa juga terangkum dalam antologi puisi Dian Sastro for President! End of Trilogy (2005), Jogja 5,9 Skala Richter (2006), antologi cerpen Dari Zefir sampai Puncak Fujiyama (2004), dan antologi esai Jendela Terbuka (2005). Cerpennya berjudul Tiurmaida termaktub dalam antologi 20 Cerpen Indonesia Terbaik 2008 (PT Gramedia Utama).



Tidak ada komentar:

Posting Komentar