Sabtu, 26 Februari 2011

SEBUAH LUKISAN DI TELAPAK TANGAN

~ Fiksi Mini Dimas Arika Mihardja ~

GARIS hidupku yang semula bagai lukisan abstrak, kini kupastikan bernuansa surealis. Hal ini kusadari justru di balik penjara yang gelap ini. Aneh, justru di dalam kegelapan aku dapat melihat cahaya terang. Cahaya Maha Cahaya yang menerangi kegelapan batin.

KOLEKSI benda-benda seni yang kumiliki tetap berada pada tempatnya. Lukisan "Pertempuran" karya Yogis kupajang berdampingan lukisan "Matahari" karya Affandi, lukisan "Potret" S. Sudjoyono,dan kaligrafi Amang Rahman hingga Amri Yahya simetris dengan lukisan "Monalisa" Leonardo da Vinci, goresan Van Gogh, Picasso dan lukisan etnis lainnya. Topeng-topeng pemberian Danarto, wayang kulit punokawan yang dibawa Dimas Arika Mihardja dari Jogja terpajang persis di tengah-tengah ruangan, berdampingan dengan patung-patung Asmat dan aneka aksessoris dari berbagai etnis di nusantara terpajang pada seonggok tonggak dan ranting kayu yang kupahat menyerupai sosok perempuan.

BEBERAPA malam ini aku tak pulang ke rumah. Entah kenapa, aku lebih merasa nyaman tinggal di sanggar kerja daripada di rumah yang cenderung resah dan gelisah. Di sanggar ini aku lebih merasa leluasa memusatkan konsentrasiku untuk berkarya. Terus terang, aku sesungguhnya malu karena selama ini aku hanya pintar mengoleksi benda-benda seni karya seniman terkenal. Aku ingin juga berkarya. Mungkin dengan berkarya, akan membuat hidup kian berwarna penuh makna. Tapi, apakah yang dapat kuperbuat dan kulakukan? Menulis puisi? Menggarap naskah lakon? Melukis? Menata tari? Ah, aku sungguh tak tahu harus memulai darimana dan berbuat apa.

PILIHANKU mengurung diri di sanggar kerja ternyata mendatangkan masalah besar. Aku merasa seperti tinggal di dalam menara yang menjulang ke langit dan menembus awan-awan biru. Aku merasa tinggal di dalam penjara yang kubangun sendiri untuk membongkar rahasia bahasa langit. Sanggar ini memang kubangun dengan hasil keringat sendiri dan dimaksudkan untuk menampung hasil kreativitas seniman nusantara dan di dunia ini. Tetapi, ah,aku sama sekali tak mampu berkarya. Tak satupun karya yang berhasil kulahirkan sebagai buah ekspresi. Aku adalah seseorng yang gagal. Gagal dalam segala hal. Gagal sebagai ibu,lantaran aku tak pernah sanggup menanam janin di rahimku. Gagal sebagai seniman, lantaran aku hanya menghamburkan uang  untuk mengoleksi karya seni.

AKU RINTIS JALAN LAIN dengan membangun sanggar seni yang kuberi nama Gaalery Art Painting And Shop (PAPAS). Aku berhasil mengoleksi dan menghimpun aneka ragam karya seni dari seniman dunia, merasa bangga memiliki cita rasa tinggi, selalu senang hati saat diminta untuk memberikan sambutan pembukaan pameran seni atau bazaar seni. Selalu menebarkan senyum bagi pemburu koleksi karya seni. Tetapi, hiks, sesungguhnya aku merasa kesepian yang amat sangat. Kesepian yang menggelisahkan batinku. Aku ingin berkarya, menghasilkan apa saja. Tetapi aku tidak bisa. Suatu ketika, kedua tangan ini diborgol dan akhirnya aku benar-benar hidup dalam penjara yang gelap.

SENJA itu aku pulang ke rumah setelah bertahun mendekam di penjara lantaran didakwa sebagai penyelundup koleksi seni. Sesampai di rumah, tak banyak yang berubah. Satu-satunya yang tetap terpajang di dinding ruang tamu ialah lukisan "Pertempuran" karya Yogis, dan koleksi lainnya telah diangkut ke kepolisian sebagai bukti barang curian atau selundupan. Diam-diam aku merasa dn harus sanggup menghadapi realita, sepahit apapun realita itu.

GARIS hidupku yang semula bagai lukisan abstrak, kini kupastikan bernuansa surealis. Ha lini kusadari justru di balik penjara yang gela. Aneh, justru di dalam kegelapan aku dapat melihat cahaya terang. Cahaya Maha Cahaya yang menerangi kegelapan batin. Begitulah kisahku, sahabatku. (DAM)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar