Minggu, 26 Juni 2011

KUN DAN SAYAP KUPU

Cerpen  Budi Palopo

(1)
INILAH kesaksian Kun. Selembar daun kamboja gugur di pelataran rumah. Kun tampak gelisah. Ketika guguran daun dipungutnya, merebaklah aroma kematian cinta. Seketika pandang-angannya menembus bayang-bayang keserakahan Durga.

Entah kapan peristiwa itu terjadi. Yang jelas Kun bisa membuka ingatan, dengan sepatu lars putus tali yang dikenakannya, Durga menginjak boneka yang lepas dari pelukan seorang bocah. Ning, bocah pemilik boneka, yang tengah memetik kembang sepatu di pelataran itu pun menangis. Tapi, Durga segera mendiamkannya dengan sebuah ledakan: ”dor...!”.

Kun bersaksi, tanaman kembang sepatu yang jadi pagar pembatas pekarangan ketika itu tengah berbunga. Bocah-bocah perempuan yang sedang main anak-anakan semula tampak riang, bebas bernyanyi-nyanyi. Aksi petik bunga pun kerap terjadi. Ada yang dimanfaatkan untuk ngudang boneka(1), ada yang cukup diselipkan di tali kuncir rambutnya. Tapi, setelah tanaman kembang sepatu beraroma darah, segalanya mendadak berubah.

Suasana benar-benar mencekam. Selain pasukan Durga, tak seorang pun berani buka suara. Dengan moncong senapan, pasukan Durga memaksa sejumlah orang kampung membuat lubang galian di tanah pelataran. Tanpa dimandikan, tanpa kain kafan. Jenazah Ning dimakamkan dengan dibungkus selembar tikar pandan. Lalu, sebatang pohon kamboja ditancapkan di tanah uruk galian pelataran yang jadi kuburan.
**
(2)
DENGAN bahasa yang cukup teratur, Kun pernah mendengar tutur. ”Tanah warisan yang digarap Wur, itu milikmu. Milik Mak yang kuberikan padamu. Suatu saat nanti, kalau kamu mau, buatlah rumah tinggal di sana. Cuma satu pesan Mak, jangan kau jual..!” tegas Mak.

Kun paham. Mak yang telah bertahun hidup mapan di kota, tak mungkin balik sebagai petani di desa. Maka, sawah digarap bibinya. Untuk kepentingan bayar pajak, Petok D atas nama Mak sebagai pemilik, tergulung dalam seruas bambu, dan tersimpan rapi di lemari pakaian sang bibi. Setidaknya, begitulah pengakuan Mak. Dan, Kun percaya begitu saja.

Tapi, kenapa tanah warisan itu kini harus jatuh ke tangan orang lain?

Kun terdiam. Dalam diamnya, ia merasakan kehadiran bayang-bayang Durga. Durga yang cantik. Secantik Nar yang --saat menari-- geraknya cukup gemulai. Setelah berhari-hari bibir terkunci, Kun bersuara.

”Tanah warisanku hilang, Nar. Atas restu Mak, bibiku telah menjualnya. Kata Mak, bibi perlu bantuan. Dan, hanya dengan restu itulah Mak bisa membantunya,” jelas Kun menirukan pengakuan Mak.

”Konfrontasi. Baratayudha harus terjadi...!” celethuk Nar, usai latihan tari, sembari mengibas-kibaskan selendang warna merah. ”Ibumu tak lebih dari sebuah boneka. Ia tak bisa mempertahankan hak untuk masa depan anaknya. Jadi kamu harus berjuang sendiri. Berjuang untuk mempertahan apa yang kamu miliki...!” jelas Nar kemudian.

Berjuang? Berjuang mempertahankan hak macam apa lagi kalau tanah itu sudah terbeli? Kun bertanya-tanya pada diri sendiri. Udara gerah. Otak Kun terasa bernoktah. Ada geram yang tersuarakan. Tapi, Kun menggeleng. Ia tak mau hubungan keluarga pecah, hanya gara-gara sepetak tanah. ”Aku tak ingin jadi manusia rakus,” pungkas Kun, serius.

Nar pun tertawa-tawa. ”Percil anak katak, jiwa kerdil percuma punya otak...!” ledek Nar kemudian. ”Mempertahankan apa yang kau miliki itu bukan tanda manusia rakus, kawanku. Kau paham kisah Baratayudha antara Pandawa-Kurawa? Kurawa terdesak, Duryudana kalah telak. Sebab, sebagai pepimpin perang, Bisma Gugur di medan tempur. Namun, demi tanah Astina, tampillah Karna untuk menyemangati Duryudana. Apapun hasilnya, perang harus dilanjutkan...!” jelas Nar berapi-api.

”Nar, janganlah kau menistaku. Jangan samakan jiwaku dengan jiwa-jiwa Kurawa,” tolak Kun.

”Kau menganggap orang Kurawa nista? Salah...!” tegas Nar. ”Baratayudha itu terjadi, bukan karena rasa benci. Baratayudha itu terjadi, karena  Pandawa merebut hak, dan Kurawa mempertahankan apa yang sudah dibangun dan dimiliki. Memang, Pandawa melihat tanah Astina sebagai kekayaan yang beralih tangan ke Kurawa. Tapi kenapa persoalan itu tidak muncul saat tanah Astina masih berupa hutan berawa-rawa? Kenapa Pandawa baru mempersoalkan hak atas tanah, setelah Astina membangunnya sebagai kota besar? Nah, kalau demikian itu yang terjadi, siapa yang rakus? Siapa yang nista, Pandawa atau Kurawa?” tanya Nar kemudian.
**
(3)
KUN tercenung. Berhari-hari ia mengurung diri. Ia berusaha menemukan kesadaran, bahwa soal dikotomi Kurawa-Pandawa tak penting lagi. Baginya, Pendawa atau Kurawa sama saja. Terserah mau pilih yang mana. ”Jika pilih Pandawa, aku harus jadi Arjuna yang siap melepas semua anak panah, dan tak mau kalah. Jika pilih Kurawa, aku harus jadi Adipati Karna yang pantang menyerah...!” tekad Kun.

Lalu, suatu hari, tanpa sepengetahuan Mak, ia pergi menemui Wur –bibinya—yang tinggal di desa. Setelah mendengar penjelasan dari Wur, Kun justru mendapat kabar yang simpang-siur. Menurut Wur, yang berinisiatif menjual tanah warisan itu justru Mak. ”Tanah itu laku dua ratus juta. Untuk bayar hutang bibi yang hampir tigaratus ribu, ibumu memang memberi bibi lima juta. Dan itu hak bibi, karena bibi yang menemukan pembelinya,”  jelas Wur.

Bumi bedhah. Kemarau panjang membuat banyak tanah tegalan terbelah. Sore hari, langit di tenggelamnya matahari berwarna merah. Namun, Kun tetap melangkah. Setelah mendengar tutur Wur, Kun segera menghadap Mak, untuk mendapatkan penjelasan sebagaimana mestinya. Dan, ternyata Mak membenarkan penjelasan Wur.  ”Kamu anak kecil, ngerti apa...?” kata Mak, ketika Kun mengingatkan Mak bahwa tanah itu telah menjadi miliknya.

Kun lungkrah. Ia tak berani mendebat Mak. Kun tak ingin menyakiti hati Mak. Kalau toh ada kalimat protes, Kun memilih menuliskan kemarahan di buku harian, yang tak mungkin terbaca oleh Mak yang buta huruf:

”Ibu...! Air ketuban, darah dan rintih sakit-mu adalah jalan pengantar tangis kehidupan. Kau tersiksa bukan karena melahirkan, tapi karena proses kelahiran.

Karena itu, tak sepantasnya kau mengaku bisa beranak-pinak. Sebab, daya hidup dalam birahi-mu telah mengukir wujud-nya sendiri.

Di situlah tersimpan wajah sang penguasa sifat, yang tak pernah henti berubah. itulah tanda gerak keabadian…!

Ibu, jika kau yakin syorga bisa dijumpai setelah manusia mati, seharusnya kau juga yakin bahwa penghuni syorga hanyalah anak-anak yang tewas akibat diinjak-injak oleh ibunya sendiri. Sebab, syorga berada di telapak kaki ibu kan?”
**
(4)

SELEMBAR daun kamboja gugur. Karena hembus angin, atau karena telah melewati batas umur? Entahlah. Yang jelas Mak telah tiada. Kun tak punya kenangan manis, selain catatan keserakahan Durga yang beraroma kematian cinta. ”Maafkan aku, Mak. Aku tak bisa menyontoh cara-caramu demi masa depan anak-anakku,” desah Kun, sembari menggerak-gerakkan jemarinya yang memegang jatuhan selembar daun kamboja.

Selembar daun kamboja gugur. Keropos dimakan ulat? Nggak juga. Kun tak pernah tahu ada ulat yang memakan daun kamboja. Justru kupu-kupulah yang sering hinggap di mekar bunganya. Tapi, adakah kupu-kupu hinggap di mekar bunga sepatu, yang menghias kuncir rambut Ning, sebelum tewas tertembak pasukan Durga?

Entahlah. Kun tak bisa mengingatnya. Yang ia tahu, pagar pembatas pekarangan yang dulu tanaman bunga sepatu, kini telah berganti pagar besi dan batu-batu. Dan, kendati sama-sama telah jadi isian lembar kenangan, Kun lebih mengingat Ning yang tewas tertembak pasukan Durga daripada mengingat Mak yang tega membunuh anaknya sendiri.

”Maafkan aku, Mak. Aku tak ingin mengingat tingkahmu, yang menyerahkan aku dan adikku ke nenek saat kau bercerai dengan bapakku. Maafkan aku, Mak. Aku tak bisa membenarkan langkahmu yang membetot nyawa adikku dengan cara menjauhkannya dari punting susumu. Mak, maafkan aku, jika aku pernah menganggapmu sebagai pembunuh adikku yang saat itu masih berusia tiga bulan. Maafkan aku, Maaak...!”

”Maafkan aku, Mak. Aku telah gagal menepis pandangan banyak orang, bahwa kau bertuhan kerakusan. Maafkan aku, Mak. Setelah bisa membaca, atas anjuran nenek, sebenarnya aku telah berusaha mendekatimu dengan rasa cinta. Tapi aku gagal, Mak. Di pagar pekarangan rumahmu ternyata banyak ulat yang tak kunjung berubah jadi kupu-kupu. Dan, aku sangat membencinya. Karena itu, aku terpaksa kembali hidup bersama nenek yang selalu damai hingga akhir hayatnya.”

”Mak...! Maafkan aku, ya mak kalau Mak pernah tersinggung saat aku bertanya soal bangkai babi yang Mak pendam di bawah meja makan. Maafkan aku, ya Maaak...!”
**
(5)

SELEMBAR daun kamboja gugur. Kun tersenyum. Tak jelas makna senyumnya. Yang pasti, walau hanya kumpul selama tiga tahun, ada banyak kenangan tentang Mak yang ingin dilupakannya. Dan, justru peristiwa yang menimpa Ning yang terus dicoba untuk ditelusurinya.

Tapi, entah kenapa, Ning selalu hadir sebagai bayang-bayang aneh. Ada semacam lorong gelap yang berujung kuburan massal dengan tumpukan banyak mayat  dalam satu lubang galian.

Di bawah pohon kamboja yang tumbuh kekar di pelataran rumah itu ternyata bukan cuma jenazah Ning. Kun baru mengerti setelah Mbah Kamid bercerita tentang penggalian tanah pelataran untuk kuburan itu.

Dan, Kun pun mencatat tutur Mbah Kamid dalam ingatannya, bahwa ketika itu kampung Negariki diserang pasukan Durga yang bersenjata api. Entah apa maunya. Yang jelas, ketika mendengar ada pasukan Durga masuk kampung, hampir semua pemuda kabur. Tapi tak semua selamat. Pada siang hari penggerebegan, ada 6 orang korban tewas tertembak. Dan, Ning itu cuma korban peluru nyasar saat bermain anak-anakan. Jelasnya, Ning tertembak, bukan ditembak.

Hingga malam hari, korban tewas itu nggak ada yang berani menguburnya. Ya, karena nggak ada yang menggali kubur. Praktis di kampung Negariki ketika itu hanya tinggal anak-anak, ibu-ibu dan kakek-kakek yang nggak mungkin ikut-ikutan kabur. ”Jadi, saat larut malam,  ya hanya sejumlah kakek-kakek yang menggali satu liang untuk mengubur korban tewas tersebut,” jelas Mbah Kamid, suatu hari.

Tapi siapa sebenarnya yang diburu pasukan Durga? Itulah yang nggak jelas. Mbah Kamid mengaku nggak tahu soal apa dan siapa yang jadi sasaran tembak pasukan Durga. Karena itu, walau menangkap gelagat ada sesuatu yang disembunyikan, Kun tahu diri. Ia nggak mungkin memaksa Mbah Kamid untuk bercerita apa adanya.

Itulah sebabnya, Kun seringkali memilih membuka ingatannya sendiri. Ingatan saat pandangnya menangkap kelebat tingkah Mak yang memprihatinkan tumpang tindih dengan gerak Ning yang ceria bersama teman-teman lainnya saat berusaha menangkap kupu-kupu yang banyak beterbangan di musim mekar bunga.

Dan Kun selalu merasa ngeri saat pandangnya menangkap kelebat bayang-bayang Ning mengerang dengan dada berdarah-darah, persis di pinggir pagar tanaman bunga sepatu. Oh, tidak... tidak. Itu bukan kenangan indah. Sebab, kini tak ada lagi bunga sepatu itu, karena sepatu tak lagi bisa mengenal bunga...! ** Gresik, 9 Juni 2011/ Jawa Pos Minggu 19 Juni 2011/ Indo Pos 19 Juni 2011