Sabtu, 19 Februari 2011

Cerpen TSI Jambi:

Cerpen Purhendi (Jawa Tengah)


LELAKI YANG MENDAYUNG CADIK KE ILIR 


Lelaki itu, dua orang, Tua-Tua Tengganai, akhirnya kembali mendayung cadiknya ke ilir, mengikuti arus surut Batanghari yang perlahan tapi pasti. Meski begitu, keduanya merasakan kayuh dayungnya demikian berat dan menyesakkan dada. Hal itu bukan karena cadiknya yang kini sarat muatan, tetapi lebih pada kekecewaan dan keputusasaan yang sepertinya tidak akan pernah selesai mencederai warganya, para warga yang dinamakan orang luar sebagai Suku Anak Dalam.
”Apa yang mesti kta katakan pada warga kita.” ucap lelaki pertama dengan nada pasrah.
”Ya, seperti yang sudah-sudah, kita katakan saja apa adanya. Toh kita yakin, sebenarnya warga kita pun sudah tahu hal yang akan terjadi. Kita tinggal memperjelasnya saja.” jawab lelaki kedua, juga tanpa ekspresi.
”Ya, pilihannya selalu saja dua, dimukimkan atau terusir. Mereka tidak pernah memahami bagaimana sebenarnya perasaan dan jiwa kita.”
”Atau memang, kita juga tidak pernah memahami perasaan dan jiwa mereka.”
”Dan mereka selalu punya alasan yang dirasa mereka lebih tepat, atas nama pembangunan dan peradaban.”
“Heh, pembangunan! Peradaban! Sungguh manis benar dua alasan itu. Mereka kira kita tidak mengerti pembangunan? Mereka kira kita tidak mengerti peradaban?”
“Kita selalu saja, seolah-olah ada pada pihak yang perlu dikasihani dan dibodohi.”
“Tidakkah mereka juga berpikir bahwa mereka pun perlu dikasihani dan bodoh?”
”Ya, zaman telah menggerus segalanya. Merusak segalanya. Mengatasnamakan segalanya.”
Kedua lelaki itu terus mendayung sampannya perlahan mengikuti arus Batanghari, sungai besar yang membelah Provinsi Jambi, daerah yang dulu dikenal sebagai Negeri Sepucuk Jambi Sembilan Lurah. Mereka memang tak perlu merasa terburu-buru. Tak ada yang perlu mereka kejar meskipun sebentar lagi senja akan datang.
Sebelumnya, tadi pagi-pagi sekali. Kedua lelaki itu telah turun dari pedalaman. Terus menuju salah satu sungai kecil yang kian surut, salah satu anak Sungai Batanghari. Perahu cadik telah pula menunggu kedatangan mereka. Sehari-hari, perahu kecil itu biasa digunakan untuk menonda. Juga digunakan sebagai alat transportasi utama, baik untuk mengunjungi suku lain maupun untuk menjual atau membarter hasil hutan yang didapat, seperti madu, jenis lalapan tertentu, maupun binatang buruan.
Dengan cadik itu, pada hari yang begitu pagi, dan matahari belum muncul di bilik timur, kedua lelaki itu mewakili sukunya untuk memenuhi undangan dari pusat kota. Seorang pejabat dari kota telah mewartakan bahwa para warga Suku Anak Dalam yang tinggal di Ilir akan lebih diperhatikan oleh pemerintah, baik pemerintah daerah maupun pemerintah pusat. Karenanya, kedua tetua itu pun telah pula mempersiapkan usulan rencana yang diinginkan warganya. Namun yang paling pokok ada dua hal. Pertama, mereka minta diberi kebebasan tinggal di pedalaman. Kedua, wilayah hutan yang mereka tinggali tidak lagi dirambah oleh mereka yang menamakan dirinya pemegang HPH.
Sebenarnya mereka pesimis untuk datang ke pusat kota. Sebab, dari dulu juga, dua hal utama itu tidak pernah terlaksana. Keberadaan mereka yang menghindari hiruk-pikuknya zaman justru merupakan ajang empuk untuk berbagai proyek orang kota. Ada yang mengatasnamakan pemerintah, ada juga yang mengatasnamakan LSM. Namun siapa yang benar-benar peduli dengan perasaan mereka?
Akan tetapi, harapan mereka toh tetap hidup. Itulah yang membuat mereka untuk terus bertahan menelusuri rimba raya, dari waktu ke waktu, dari belukar ke belukar, dari ladang ke ladang, dari hutan ke hutan. Ya, harapan untuk hidup dengan cara mereka, bukan dengan cara orang lain, dari masa ke masa. Karena itu, pagi itu pun mereka dengan semangat mengayuh cadiknya ke arah ulu, melawan arus Batanghari perlahan tapi pasti, ke arah pusat kota, mendahului terbit matahari.
Tidak sampai tengah hari, kedua lelaki itu pun telah sampai di penambatan perahu di bibir Batanghari, di dekat pusat kota. Beberapa orang berpakaian dinas telah pula menunggunya dan menyambut kehadirannya.
Tidak lama kemudian, keduanya pun dipersilakan masuk pula ke sebuah mobil dinas yang telah dipersiapkan menjemput kedatangannya. Kedua lelaki itu, sesaat merasa menjadi tamu penting dan dihormati. Tapi entahlah, sebab terselip juga suatu perasaan yang tidak seperti itu. Aneh. Janggal. Tidak nyaman. Mungkin karena pakaian serba hitam yang begitu sederhana. Tanpa alas kaki. Ada juga hiasan di kepala, kain ikat kepala ala kadarnya. Atau mungkin entah karena apa.
Sampai akhirnya, keduanya pun disambut di sebuah kantor. Ada juga juru bicara khusus untuk menerjemahkan kata-kata mereka yang tidak begitu dimengerti orang luar. Dialog pun terjadi. Entah sekadar basa-basi, entah benar-benar sebuah harapan. Namun jelas, seorang pejabat di kantor itu mengkampanyekan partainya, memaparkan program pembangunannya, menawarkan kesejahteraan, menawarkan peningkatan pelayanan pendidikan dan kesehatan, dan tentu saja berusaha mengelak soal HPH dan tentang izin bermukim di dalam hutan. Sebab, katanya, semua itu merupakan kewenangan pemerintah pusat dan perlu perundangan khusus yang akan digodok oleh para wakil rakyat.
Semakin lama, ketika seorang pejabat kian bersemangat mempromosikan partainya dan program-program pembangunannya, kedua lelaki yang mewakili sukunya itu justru semakin tidak mengerti dan semakin tidak masuk di akal. Sebab selama ini, yang berjanji demikian sudah sangat banyak. Tampaknya, sang pejabat sebuah partai itu pun mulai paham dengan roman muka kedua tamunya. Pembicaraan pun akhirnya disudahi meski agak terpaksa dan kurang puas. Kedua lelaki itu lantas dijamu dengan nasi kotak yang telah dipesan dari sebuah restoran paling mahal di kota itu. Tidak lupa dua botol air mineral pun disodorkan pula beserta pipetnya. Orang-orang yang lain yang ada di ruang itu pun bersijingkat mengambil nasi kotak yang memang telah disediakan.
Ada perasaan ragu pada kedua lelaki itu untuk membuka nasi kotak. Bukan karena aneh, bukan karena asing, bukan pula karena tidak lapar, tetapi keduanya tiba-tiba teringat warganya yang kini mungkin tengah bertebaran di belantara belukar dan perbukitan. Namun, sebagai rasa hormat terhadap orang yang telah menjamunya, keduanya pun mencoba menghabiskan sajian yang telah disuguhkan itu.
Ketika segalanya dianggap telah selesai, tidak ada pembicaraan khusus lagi, sang pejabat itu menitipkan beberapa bendera partainya untuk dikibarkan di mana pun kedua tamunya itu tinggal. Tak lupa pula, beberapa kardus yang berisi minyak goreng, mi instan, dan raskin. Ditambah lagi, beberapa amplop putih untuk warga yang katanya be-el-te dari pemerintah.
Selanjutnya, semua barang itu pun dimasukkan ke dalam mobil yang tadi telah menjemput. Kembali semuanya meluncur ke pinggir sungai. Terus memuat semua titipan ke atas cadik. Dan kemudian, cadik dan kedua penumpangnya itu pun, disertai beberapa bendera partai dan kardus oleh-oleh, meluncur kembali di atas Batanghari, diiringi lambaian tangan orang-orang yang tadi mengantarnya. Saat itu, matahari telah menggelincir ke arah barat.
”Bagaimana dengan barang-barang titipan ini?” lelaki yang pertama melanjutkan pembicaraan dan kembali mengingatkan.
”Kita serahkan semuanya pada warga kita. Terserah mereka mau menggunakan atau tidak, mau menerima atau tidak.”
”Ya, kita memang tidak dapat memungkiri, kita juga perlu bahan makanan ini.”
”Apalagi sekarang musim kemarau, binatang buruan semakin langka, umbi-umbian pun susah tumbuh.”
”Ya, sarang madu pun semakin susah dicari. Pohon-pohon sialang makin susah ditemukan, tak ada lagi tempat tawon madu tinggal.”
Cadik yang kini sarat dengan muatan itu pun membelok dari Sungai Batanghari yang surut. Terus menelusuri sebuah anak sungai yang airnya lebih surut lagi, namun cukuplah mampu dilewati biduk itu.
Senja kian menilap. Anak sungai yang surut beserta cadik dan segenap muatannya itu pun kian menghilang di keremangan senja dan belukar.


Banjaran, September 2008









PURHENDI. Lahir di Desa Banjaran (Jateng), 11 Maret 1968. Menamatkan FKIP Unsri jurusan Bahasa Indonesia tahun 1993. Telah 20 tahun turut mengisi dunia sastra di Sumatra Selatan dan menjadi guru Bahasa Indonesia di berbagai SMP dan SMA, juga di berbagai bimbingan belajar di Palembang/Sumatra Selatan. Menulis cerpen, puisi, dan esai di berbagai media massa ibu kota dan daerah. Di antaranya pernah dimuat di Horison, Femina, Republika, Media Indonesia, Harian Ekonomi Neraca, Album Cerpen, Asah Asih Asuh, Romansa, Annida, Ceria Remaja, Anita Cemerlang, Lampung Post, Singgalang, Taruna Baru, Sriwijaya Post, Sumatera Ekspres, Transparan, Suara Rakyat Semesta, Detak Jakarta, Monica, Berita Pagi, Palembang Ekspres, dll. Lebih dari 20 bukunya sudah terbit, baik yang berupa kumpulan puisi, cerpen, maupun esai, baik tunggal maupun bersama. Telah lebih dari 20 kali pula memenangkan sayembara penulisan cerpen, puisi, dan esai, baik tingkat lokal maupun nasional. Sejak awal September 2008, hijrah ke kampung halaman di Desa Banjaran bersama keluarga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar